Kebetulan?

44 6 0
                                    

Menghadapi semua masalah yang datang tanpa aba-aba itu sulit, mungkin lebih tepatnya terlalu mengagetkan. Bukankah aku tidak disiapkan untuk seremuk ini? Bukankah jika saja aku sadar lebih awal, ending-nya tidak akan setragis ini?. Aku masih menangis ketika edelweis berada di pelukku, wanginya sama seperti Saldan. Laki-laki bodoh itu pasti sengaja menyemprotkan parfum di atas bunga mungil ini, dasar jahat.

Aku belum bergeming ketika ada tangan yang terulur ke arahku, di dua jarinya yang lurus diantara tiga jari yang ditekuk tersisip sebuah tisue. Aku menelisik tangan itu hingga menemukan sosok dengan wajah datar memandangku dari arah belakang.

"Maya?" Ucapnya ketika aku setengah menoleh.

"Yudhis?" Sosok itu masih jelas di memoriku, laki-laki dengan senyum manis itu tiba-tiba mengubah pandangan dinginnya dengan senyuman. Matanya yang sipit ikut melengkung seakan tak ingin ketinggalan tersenyum ke arahku.

Satu tanganku naik mengusap pipi, sementara tangan yang lain bergerak menaruh bunga dan meraih tisue yang Yudhis berikan.

"Lo disini? Wah kebetulan ya," Serunya mendekat.
"By the way lo kenapa?"

Aku menggeleng.

"Gapapa."

Yudhis mundur canggung, mungkin merasa bahwa aku membangun dinding tinggi untuknya karena tak menatap saat dirinya bergerak mendekat.

"Gue permisi, ya."

"Dhis tunggu," Tanganku reflek memegang lengan Yudhis, menghentikan langkahnya yang baru kusadari ternyata tengah menggendong tas besar.
"Lo mau kemana?"

"Gue baru aja sampai Jakarta, kebetulan kemarin ada paket datang pas gue pulang Semarang, jadi gue ambil kesini."

Aku hanya memandang aneh, tidak mengerti.

"Ahh, kita belum banyak ngobrol jadi gue juga belum banyak cerita."
"Gue kerja di Telkom, udah setahun lalu sih. Kemarin gue pas dapat cuti pulang ke Semarang," Jelasnya menampakkan gummy smile saat tertawa.

"Ohh, jadi selama ini lo juga di Jakarta."

Yudhis mengangguk.

"Lo naik apa kesini?"

"Jalan aja, kebetulan bus gue juga berhenti di depan."

"Mau bareng? Kebetulan juga gue bawa motor," Tawarku yang ternyata lansung di-iya-kan oleh Yudhis.

Sat set ya Dhis.

Akhirnya aku pulang bersama Yudhis, wangi fresh menyeruak saat dirinya duduk di depanku. Beberapa kali aku melihatnya lewat kaca spion dan ya, dia memanglah Yudhis yang wajahnya dingin. Dia tidak banyak bicara, terkesan selalu terlihat malas.

"Lo suka edelweis?" Tanyanya tiba-tiba. Dan jawabku hanya gumaman singkat.

Hening lagi.

"Kenapa lo nangis?" Yudhis menatapku lewat kaca spion, hal itu sempat tertangkap oleh ekor mataku ketika aku memandang belakang kepalanya.

"Kelihatan banget kalau habis nangis, ya?" Bodoh, bukan bekasnya yang kelihatan banget, tapi dia memang melihatku tadi ketika aku menangis.

"Engga," Pernyataan Yudhis akhirnya menggantung, aku hanya tidak ingin terlalu terbuka dengan orang baru. Begitu juga Yudhis, ia pasti akan risi jika aku banyak curhat.
"Kita udah sampai," Yudhis memarkirkan motor di salah satu hunian sederhana di perumahan Perwira Yudha. Perumahan yang kebanyakan diisi oleh anggota militer.
"Mampir dulu, ya!" Perintah Yudhis, setengah memaksa. Sebenarnya tidak juga, karena dengan senang hati aku ikut turun dan mengikuti Yudhis yang masuk ke dalam pagar sembari menuntun motorku. Ya... Walaupun aku berjalan sembari sedikit menganga, karena rumah Yudhis terlihat begitu rapi dan nyaman.

Tenang! Yudhis ga nawarin lihat kupu-kupu di rumahnya kok.

Tenang! Yudhis ga nawarin lihat kupu-kupu di rumahnya kok

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

https://id.pinterest.com/pin/70437485590954/

"Sorry ya cuma ada teh," Yudhis keluar bersama dengan dua cangkir keramik, meletakkannya di atas meja marmer bulat yang berdiri kokoh di depanku.

"Ga apa-apa... Lo tinggal sendiri?"

Yudhis mengangguk.

"Semenjak Papa meninggal 2 tahun lalu, ya gue ngurus rumah ini sendiri."

Aku membulatkan mataku, merasa bersalah atas pertanyaan kurang ajar itu.

"Sorry, Dhis."

"Don't worry! Mau tahu cerita yang lebih sedih, ga?" Yudhis duduk sembari menyimpan nampan di bawah bangkunya.

Lah... Kok jadi mellow.

"Gue ini anak broken home, Papa sama Mama udah cerai dari gue umur 7 tahun, gue satu-satunya anak yang Papa bawa dari Mama, dan 2 tahun lalu... Papa ninggalin gue sendiri," Yudhis tersenyum sinis.
"Curang," Lanjutnya. Aku hanya begitu iri dengan Yudhis yang mampu menceritakan hal paling keji dalam hidupnya tanpa terlihat bersedih, bahkan laki-laki itu tersenyum seakan tengah kesal karena terus diejek oleh kenyataan.

"Dhis," Aku menyentuh punggung tangan laki-laki itu.

"Jadi... Ga usah tunjukin sama dunia kalau lo kalah, hanya tersenyum dan kasih tahu sama siapapun kalau ujian ini ga ada apa-apanya dibanding bahu kuat yang Tuhan ciptakan buat lo!" Yudhis kembali tersenyum hangat.

Aku mengangguk malu, bahkan sakit hatiku belum ada apa-apanya dibanding Yudhis. Namun aku merasa bahwa duniaku telah hancur tanpa harapan yang tersisa.

"Sebenarnya lo kenapa? Bisa lo cerita sama gue!" Yudhis menawarkan diri.
"Lo putus sama cowok lo itu?"

"Hah?" Yudhis mampu membuatku terhenyak.
"Cowok yang mana?"

"Yang namanya..... Siapa yang kemarin itu? Sal.. Sal..."

"Saldan?"

"Nah iya, susah banget namanya."

"Dia bukan cowok gue,"

Dan berakhir aku curhat ke Yudhis tentang Saldan. Jangan salahkan aku yang tidak punya teman setelah dua sahabat dekatku sibuk dengan acara pernikahan, aku juga butuh sandaran, setidaknya yang mau menampung apa yang sedang aku jadikan beban. Dan Yudhis hadir, kebetulan?

"Jadi kalian ini kena friendzone?" Yudhis menekankan kata terakhirnya, membuat aku kemudian merasa tertampar saat ingat pernah melarang Saldan jatuh cinta padaku.

Aku mengangguk.

"Tapi gue ga menemukan pandangan teman di Saldan pas kita papasan di Sabana 1, kalian beneran kaya pacaran."

"Sabana 1?" Tanyaku lagi memastikan.

"Iya, kita kan papasan di Sabana 1."

Syarafku terasa tersambung saat itu juga, aku tiba-tiba ingat semua wajah delapan laki-laki dengan enam anggota yang berisik dan dua anggota yang diam. Jadi Yudhis ternyata adalah salah satu anggota diam yang pernah aku temui di Sabana satu? Wah...

Kebetulan, ya?

---

Sebelum 5 CM「COMPLETED」Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang