Nyatanya sudah satu jam aku menapaki dinginnya basecamp setelah terjaga dari tidurku, aku memilih salah satu tepian jalan setapak untuk memotret lekukan bukit yang diselimuti kabut tebal. Dengan kamera digital yang kudapat sebagai hadiah 17 tahunku, aku berhasil memotret setidaknya dua puluh foto.
"Indah ya?" Saldan menepuk pundak ku pelan, memberikan sensasi hangat berkat tangannya yang baru saja di gesekkan.
Aku mengangguk.
Disini suhunya hampir 20°C, lumayan dingin untuk ku yang tidak terbiasa tinggal di lereng gunung. Untung saja Saldan mengingatkanku untuk membeli jaket gunung, kalau tidak mungkin aku akan menjadi satu-satunya yang menyerah sebelum berhasil menginjakkan kaki di Sabana 2, tempat yang Saldan katakan lebih indah dari padang rumput Palouse.
Jujur saja aku tidak ingin mempercayainya, aku hanya penasaran.
"Nanti jalan jam berapa?" Aku memutar badan, puas dengan apa yang berhasil ku potret dan berakhir memotret Saldan yang di selimuti sarung coklat.
"Kalau matahari udah naik, mungkin jam 10."
Aku mengangguk mengerti.
"Pagi nduk," Sapaan lembut yang mampu membuatku mengurai senyum.
"Pagi Bu Arum," Balasku mendekatinya.
"Kalian ini berdua terus, ya?"
Oke, julid mode on.
"Hehe, iya Bu... Kenalin ini Saldan temen aku."
"Saldan, Bu."
"Ooo, ya ampun ganteng ya."
"Kalian cocok loh," Ungkap Bu Arum menyentuh lenganku.Aku dan Saldan hanya bertukar pandang lalu tertawa canggung.
sumber : google.com
Sudah sekitar dua jam rombonganku menjajaki gunung Merbabu. Aku masih santai dengan backpack ku yang nampak kebesaran, tak apa, begini pun aku masih dilirik beberapa pendaki laki-laki yang lain.
Kiw...
"Aduh kalau tahu naik gunung seenak ini, kenapa ga dari dulu aja gue naik gunung," Celotehku yang mendapat pendangan geli dari Hexa.
"Tahu gue lu ngomong begitu apa maksudnya," Hexa yang jalan sejajar denganku hampir kehilangan nafasnya.
"Ga usah sok tahu kaya dukun!"
Saldan yang memimpin memutar haluan, Aliya dan Naufal yang ada di belakangnya ikut menoleh.
"Kita sampai di pos satu."
Aku jadi orang pertama yang berlari mendekat, melihat beberapa pendaki yang bertebaran di sekitar pos 1 untuk istirahat. Ada yang mengambil foto, aku tahu dia pasti naik gunung buat pamer. Tapi aku tidak peduli. Aku masih berjalan menapaki tanah yang lumayan lapang itu untuk kemudian duduk di bawah pohon yang entah namanya pohon apa yang jelas pohon yang rindang. Aku menganggapnya pohon mangga.
Woahhh...
"Aku lihat orang mirip Rio Dewanto, astaga."
Masih dengan ketakutan untuk tidak berbicara kotor.
"Mana sih, May?" Aliya yang duduk di sampingku menegakkan tubuhnya, menilik arahanku yang kutujukan pada laki-laki yang berteduh di bawah pohon sembari memeluk backpack warna merah.
"Mana ada mirip sih dia aja nutupin muka, cuma keliatan brewoknya doang," Protes Aliya."Justru itu... Orang kalau berewokan mau ganteng apa engga itu udah Rio Dewanto."
"Ilmu darimana begitu," Aliya menoyorku.
"Heran banget gue mah, yang jauh aja kelihatan kalian ga lihat ini muka gue juga mirip vicky nitinegoro?" Hexa melempar ranting.
"Vicky prasetyo lu mah," Celetuk ku.
"Nah kalau Saldan mirip siapa, May?" Aliya mencoba memancingku, dan sialnya dia berhasil.
Aku menatap lekat pada Saldan yang kini duduk di atas batu yang lumayan besar, satu tangannya menggenggam minuman sedangkan tangan yang lain sibuk merapikan rambut yang langsung di tutupi topi.
"Dari dulu gue mikir, kayanya dia mirip Rizky Nazzar deh."
"Rizky kesasar dia mah," Ozi tidak terima.
"Btw May, gimana kalau ternyata Saldan udah punya pacar?" Ozi duduk di sampingku, melirik ku dengan tatapan meneliti."Bagus, tapi kalau dia sampe sembunyiin dari gue sih mungkin gue bakal marah."
"Kenapa mesti marah? Emang hak seorang sahabat sejauh itu?"
Oke. Skakmat.
Aku juga bertanya padaku akan hal itu. Kenapa harus marah? Kenapa mesti marah? Kenapa merasa seberhak itu atas kabar Saldan. Tapi mengingat persahabatan kami, apa iya ini berlebihan jika aku merasa Saldan terlalu tega menyembunyikan pacarnya dariku. Atau aku marah karena ini melawan perasaanku, aku tidak ingin hal itu terjadi?
Entahlah.
"Gimana naik gunung? Indah, kan?" Saldan berbicara sembari berjongkok mengencangkan tali sepatunya.
"Sal..."
"Iya?"
"Lo percaya yang namanya friendzone?"
Saldan mendongak. Menilik ke arahku,sahabat wanita satu-satunya yang berdiri di sampingnya sembari menunduk menarik tali backpack agar lebih erat merangkul punggung.
"Percaya."
"Kok bisa sih orang jatuh cinta ke sahabatnya sendiri?"
Saldan bangkit, meraih pundak ku agar lebih dekat dengannya.
"Dengerin gue! Dalam satu hubungan cowok-cewek, ga mungkin kalau salah satu ga menyimpan rasa suka."
"Dih, jangan bilang lo naksir sama gue!"
Saldan tersenyum.
"Kalau satu diantara kita ada yang memendam perasaan, gue pastiin orangnya adalah lo," Saldan tergelak.
"Dih, mimpi di siang bolong di tengah hutan... Gue mah ngeri lo di colong kunti."
Saldan tidak menjawab, masih sibuk mengecek backpack ku yang baru saja kupastikan aman sampai di puncak nanti. Diberi perhatian sedemikian rupa, membuatku berfikir sejenak, menenggelamkan pikiranku yang tiba-tiba melanglang jauh.
"Lo bisa janji ke gue ga, Sal?"
"Apa?"
"Jangan pernah suka sama gue! Gue ga mau kehilangan sahabat kaya lo."
"Kalau janji gue bisa bikin lo tenang, ya udah."
-
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum 5 CM「COMPLETED」
Conto📖 Short story 📖 Aku kehilangan Suryaku. Salahku karena merasa terlalu membutuhkannya hingga lupa kalau Surya tidak hanya bertugas untuk memberi namun juga harus mendapat. Cerita yang sebenarnya tidak ingin kuceritakan. Dariku yang merindukan Surya...