Bayangan ku terlihat lurus, tandanya ini sudah tengah hari. Mungkin karena aku beberapa kaki lebih dekat dengan matahari, jadi sengatannya terasa semakin menusuk ubun-ubunku.
"Pos tiga," Teriakan Saldan mengguncang hatiku.
Akhirnya.
Mataku menyapu area yang Saldan sebut pos 3 itu, melihat puluhan tenda dengan harum bakaran sebagai aromanya.
Engga, bukan tendanya dibakar. Bukan!
"Pada masak ih seru," Aliya melangkah melewatiku, dua tangannya menggenggam tali backpack berwarna abu yang kalau di lihat dari belakang maka kepalanya akan hilang.
"Kita udah sampai?" Aku menepuk pundak Saldan, membiarkannya tanganku bertahan di bahu tangguh itu untuk beberapa saat.
"Belum," Gelengnya.
Aku sempat melewati tanah yang lapang dua kali sebelum sampai disini, pos kedua tidak kami singgahi, kata Saldan tanggung. Aku harus merelakan berpisah dengan Rio Dewanto setelah berjalan bersama rombongannya dari pos 1 ke pos 2.
Ya, aku memanggilnya Rio Dewanto hanya karena dia punya berewok. Padahal menurut Aliya, dia lebih mirip sama Desta. Tidak ada yang salah tidak ada yang benar, kita hanya memiliki imajinasi yang berbeda, yang jelas dia lebih siwer dariku.
Oh iya.
Mengenai Aliya, aku sedikit kesal dengannya kala menaiki gunung Merbabu saat itu. Bukan apa-apa, dia memilih bergandeng tangan dengan Naufal dibanding berjalan sejajar denganku, memilih duduk berteduh di samping Naufal dibanding berjejer lalu ghibah denganku. Aku sempat menyumpahinya segera menikah setelah turun dari Merbabu, biar sekalian ga bisa nongkrong lagi di cafe atau setidaknya datang ke club untuk menghilangkan segala sesak di kepalanya.
Aku iri. Jujur.
Aku juga ingin memiliki sosok yang bisa ku andalkan setiap waktu, setidaknya ada kala aku merasa sendirian dan juga ada ketika sifat manjaku keluar.
"Kenapa gak duduk?" Ucapan Saldan membuatku terhenyak dari lamunku.
Aku menghela nafas dalam sebelum akhirnya mengikuti langkah Saldan ke arah pohon rindang. Duduk di bawahnya sembari kepayahan melepas backpack yang semakin kesini semakin terasa membuatku hampir kayang.
"Sal?" Saldan tak menjawab, ia hanya mengangkat alisnya sembari melirikku.
"Gue pengen punya pacar, tapi takut punya pacar.""Apasih May?"
"Kadang gue mikir, orang-orang seumuran gue itu udah pada punya anak, sedangkan gue... Pacaran aja belum pernah," Keluhku tidak sadar.
"Emang apa yang lu harap sih dari sebuah hubungan?" Saldan menyodorkan sebotol minuman, namun aku menolaknya.
"Pengen ngerasain gimana rasanya dicintai dan diperhatikan."
"Emang lu kurang perhatian?"
"Bukan... Gue cuma merasa iri aja sama orang-orang yang punya pacar. Kayanya dunia itu adanya indah aja," Sahutku sekenanya.
Saldan tersenyum, menunjukkan jarinya ke arah hamparan bunga edelweis di sisi kanan tanah miring yang tepat menghadap matahari.
"Lu lihat disana ada bunga?" Ungkap Saldan masih menunjuk.
"Itu edelweis."
"Menurut lu bunga itu indah ga?"Aku mengangguk.
"Lebih indah bunga edelweis atau bunga mawar?"
"Eum... Mawar."
Saldan kembali tersenyum.
"Lu tahu... Mawar cuma mampu bertahan mekar selama 45 hari, sedangkan edelweis mampu bertahan 10 tahun," Saldan mendengus.
"Itu sebabnya kenapa bunga edelweis itu disebut bunga abadi."Aku membelalakkan mataku takjub. Setelahnya aku melihat edelweis menjadi lebih indah dari mawar.
"Cinta yang lu lihat itu belum tentu akan selalu ada buat lu, May."
"Dia terlihat indah hanya karena dia terlalu menampakkan diri."
"Yang terlihat indah itu belum tentu yang lebih baik..."
"Lagipula edelweis sudah di samping lu. Berhenti mencari mawar yang cepat mati."Saldan tersenyum, bangkit dari duduknya untuk menghampiri yang lain. Tubuhnya yang semakin menjauh belum mampu menghilangkan pikiranku tentang ucapan terakhirnya.
edelweis sudah di samping lu. Berhenti mencari mawar yang cepat mati.
Apasih maksudnya?
Jelas-jelas hanya ada rumput liar dan beberapa daun kering yang mengitariku, tidak ada edelweis apalagi bunga mawar.
photo taken by : Wiwid Sumarsono
Hexa turut duduk bersamaku di bawah pohon, menggantikan sosok Saldan yang tak kunjung kembali setelah pergi menyusul Ozi. Memang tak jauh dari sana ada beberapa wanita yang kesulitan melipat tenda, mungkin Saldan membantunya.
Genit. Najis.
"Saldan mana?" Tanyanya bertanya pada yang bertanya-tanya.
"Auk dah tuh, modus kayanya."
Hexa hanya mengangguk.
Lah iya tumben.
"Kenapa?" Tanyaku.
"Ga kenapa-kenapa sih, ga tahu akhir-akhir ini gue merasa aneh aja sama tuh bocah," Hexa mengendurkan backpacknya, bersender pada tas besar itu untuk setidaknya melepaskan lelah.
"Anehnya?"
"Beberapa hari sebelum kita pergi, dia kelihatan galau banget. Dia cerita apa gitu ga ke lu?"
Aku menggeleng.
"Dia ga lagi suka sama cewek, kan?" Ucapan Hexa membuat hatiku berdebar.
"Kok bisa ngomong begitu? Lagian kalaupun emang dia suka sama cewek harusnya dia ngomong ke gue ga sih?" Aku tak sadar ternyata aku meninggikan volume suaraku. Hal itu membuat pendaki lain menoleh. Aku tidak peduli, aku hanya merasa tiba-tiba semua orang meragukan persahabatanku.
"Santai aja May, calm down!"
Aku menghela nafas panjang.
"Iya," Pungkasku.
Aku tidak tahu, ada rasa aneh yang merayapi hatiku setiap kali semua orang menyinggung Saldan. Perasaan yang semula terasa seperti roti tawar kini kurasa lebih beraroma vanilla. Aku mungkin saja menyangkal semua orang yang menuduhku cemburu dengan Saldan, namun jika harus melihat Saldan memiliki pacar secepat ini, kurasa aku memang belum benar-benar terima.
-
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum 5 CM「COMPLETED」
Historia Corta📖 Short story 📖 Aku kehilangan Suryaku. Salahku karena merasa terlalu membutuhkannya hingga lupa kalau Surya tidak hanya bertugas untuk memberi namun juga harus mendapat. Cerita yang sebenarnya tidak ingin kuceritakan. Dariku yang merindukan Surya...