Telah Dewasa

42 8 0
                                    

Bukankah malam memang harus berlalu? Pagi akan datang, bersama matahari yang entah akan bernama apa namun jelas siap memberi warna baru yang lebih terang. Bahkan sudut-sudut mengerikan akan terlihat menakjubkan, lorong gelap yang akan tetap gelap namun memberi tahu bahwa saat di ujung nanti hanya akan ada seberkas cahaya lagi, kembali kepada terang yang menjanjikan.

Semenjak aku membulatkan tekad untuk meneruskan S2, aku kembali meninggalkan Semarang. Kali ini bukan untuk tinggal di salah satu ruangan apartemen yang Papa sewa karena aku yang tak mungkin ikut kemanapun beliau dinas, melainkan sebuah unit rumah di salah satu perumahan Jakarta Timur. Aku senang, bukan hanya karena aku kembali mendapatkan sebuah pelukan keluarga, namun juga aku dapat melihat dua manusia paling berpengaruh dalam hidupku beraktivitas setiap hari.

"Lebaran tahun ini kita balik ke Semarang kan, Pa?" Aku menggigit roti tawar yang sebenarnya Mama siapkan untuk suaminya.

"Iya... Kan Saldan mau menikah," Ucapan Papa berhasil membuatku berhenti mengunyah.

Jleb gitu rasanya.

Seminggu yang lalu, tepat saat aku ingin mengatakan bahwa aku di terima di universitas negeri pada Saldan, ia juga memberi tahuku bahwa sehabis lebaran ia akan melangsungkan pernikahan. Ajaibnya, aku yang berniat memberinya kejutan malah harus lebih terkejut karenanya.

"Oh iya?" Aku gemetar saat Saldan dengan nada yang ceria menceritakan betapa hebohnya Nenek ku saat berada di pesta pertunangannya dengan Delia kemarin.

Saldan harus tahu bahwa aku sedang menangis kala itu. Namun keharusan itu aku tak ingin diriku sendiri yang mengatakannya.

"Lo harus datang, May!" Suara sendunya dari seberang telefon berhasil membuatku tersenyum.

"Iya."

Aku tak tahu jika senyum itu ternyata terbawa saat aku tengah berada di depan Papa. Satu tangannya naik mengusap puncak kepalaku pelan.

"Kamu harus cepet nyusul Saldan, ya!" Pintanya. Sendu dan pasti.

Pertanyaanya. Dengan siapa?

Satu notifikasi ponsel yang ku geletakkan di meja memaksaku menoleh, pesan dari Naufal membuatku terpaksa menaruh kembali sisa roti yang baru ku makan separuh.

📩
Naufal

May, tanpa mengurangi rasa pertemanan kita, Gue harap lo mau datang ke pesta pernikahan gue sama Aliya, ya!
Sorry banget karena Aliya ga bisa datang dan ngasih undangan langsung... Gue harap lo mengerti

Naufal mengirimkan video

Maya

Gapapa, congrats ya
Iya gue pasti dateng, salam buat Aliya ya!
Dia cantik banget pakai gaun itu

"Ah iya..," Aku tersenyum melihat video Aliya yang terlihat mencoba gaun berwarna gold yang akan menjadi gaun resepsinya, Naufal mungkin diam-diam mengambil video itu karena Aliya tidak seperti orang yang siap untuk di rekam.

"Kenapa, May?" Mama yang baru saja datang setelah sibuk sendiri di dapur mungkin heran melihatku tersenyum.

"Ga... Maya habis dapat undangan dari temen," Akuku.

"Oh iya? Bagus dong, banyak temen kamu yang udah sold out," Dih apaan sih Mama bahasanya.

"Iya dah, ini Maya juga lagi nge-discount belum juga dilirik."

"Kok discount?" Papa protes.
"Kamu itu limited edition, jadi belum ada yang mampu beli. Tapi Papa ga mau nurunin harga, udah harga sistem."

Ini ngomongin apa sih?

Akhirnya masa-masa seperti ini aku alami juga. Melihat satu persatu sahabatku menjejaki kehidupan barunya, melangkah lebih dekat ke arah bahagia. Kemarin aku juga datang ke acara pertunangan Ozi dan Jiva, sekitar seminggu lalu juga mendapat kabar bahwa Hexa sudah berhasil bekerja di perusahaan BUMN di Purworejo, tempat tinggalnya. Hexa sudah berbaikan denganku, aku mendapatkan permintaan maafnya ketika tiga bulan yang lalu kami berhasil turun dari Merbabu.

Lalu kamu, May? Sudah mendapat bahagaimu?

Sudah kok :)

Salah satu bahagiaku adalah melihat Saldan bahagia, aku tahu bahwa cinta yang tak harus memiliki itu munafik. Namun menyatakan cintaku di saat yang terlalu tidak tepat ini juga tidak akan mungkin. Aku rasa cintaku akan segera pudar ketika aku kembali ke Jakarta, namun nyatanya aku kembali kesini hanya membawa raga, hatiku sengaja kutinggalkan disana, bersama rindu tanpa temu dan rasa tanpa terutara. Sakit? Sangat.

Ponselku berdering, nada someone like you by adele dengan versi kalimba menggema di ruangan tengah. Ada nama Saldan berkedip-kedip disana, foto profil WhatsApp nya yang bergambar jari tangan Delia yang memakai cincin membuatku ingin mengumpat.

"Halo," Aku menempelkan ponsel ke telingaku, berdiri menjauhi Papa yang sibuk dengan korannya.

"Halo mbak," Loh, kok cewek.
"Ini Delia mbak, bukan Mas Saldan."

Mas Saldan? Ya Allah geli.

"Eh... Iya, kenapa ya?" Aku sedikit terbata, kaget bercampur bingung kenapa calon istri Saldan menelfonku.

"Mas Saldan suruh aku WhatsApp mbak Maya buat suruh mbak Maya ambil kiriman bunga edelweis di jasa kirim besok, tapi aku males ngetik jadi aku telfon aja," Suara gadis desa yang manis, pantas Saldan langsung menerima perjodohannya. Saldan beruntung, tapi Delia lebih beruntung.

"Oh, Saldan kirim bunga?"

"Iya mbak... Nanti alamatnya Mas Saldan bakalan kirimin."

"Oke, makasih banyak, ya."

Sambungan terputus setelah Delia mengucapkan salam. Ternyata aku memang belum lupa dengan perasaanku pada Saldan, ternyata memikirkannya akan segera menikahi gadis lain masih semenyakitkan ini. Aku mendongak menatap langit mendung yang siap menurunkan hujannya, bahkan menatap awan saja membuatku teringat dengan Saldan. Aku hanya baru tahu, ternyata Saldan memang semelekat ini dengan kehidupanku, kebiasaanku dan perasaanku.

Tapi... Ngapain dia kirim bunga?

---

Sebelum 5 CM「COMPLETED」Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang