Gevan menggeliat dalam tidurnya. Sekarang jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Sudah sekitar 4jam Gevan tertidur di sofa ruang tamu rumahnya. Cowok itu menggerakkan tubuhnya yang terasa kaku ke kanan dan ke kiri hingga terdengar bunyi kretekan. Setelahnya Gevan duduk termenung sambil melonggarkan dasi yang masih terpasang di lehernya. Hari ini sangat melelahkan baginya, belum lagi urusannya dengan Galka, ia belum pergi ke rumah cowok itu untuk melihat keadaan spupunya.
Gevan mengambil ponsel dari saku seragamnya, melihat banyaknya pesan masuk yang berasal dari ciwi-ciwi yang pernah ia temui di berbagai tempat. Gevan menghiraukan itu semua, ia memilih melihat room chat Galka, disana terlihat bahwa spupunya terakhir online pada pukul 8 pagi tadi. Gevan sudah menyadari bahwa apa yang ia lakukan semalam adalah kesalahan besar. Tapi gengsinya yang lebih besar membuatnya enggan untuk menemui Galka lebih dulu bahkan hanya untuk sekedar sapa menyapa pun rasanya seperti menghilangkan harga diri.
"Dek, udah bangun?" panggil Mama nya yang baru saja keluar dari kamar.
Gevan menoleh, kemudian mengangguk. Hanna berjalan menghampiri Gevan kemudian duduk disebalah anak bungsunya. Wanita paruh baya itu merasa ada hal yang aneh dengan anaknya. Tumben sekali Gevan pulang ke rumah, setahunya Gevan itu benci rumahnya sendiri karena adanya Arva, kakak kandung dari Gevan yang usianya lebih tua 5 tahun.
"Tumben pulang dek" Hanna iseng bertanya disertai senyumnya yang terkesan mengejek.
"Heran, anak pulang kok dikatain tumben" nyinyir Gevan.
Hanna tergelak. "Ya, engga dek, kan biasanya kamu males pulang kesini".
"Suka-suka Gege tampanlah" sahutnya kesal.
"Dih tumben banget lo disini" celetuk Arva yang sedang menuruni tangga rumah mereka.
"Kenapa? Ini rumah punya bokap gue!" Gevan menjawab dengan nada sewot.
"Bokap lo bokap gue juga sat!" balas Arva tak kalah sewot.
Hanna memijat kepalanya yang berdenyut. Perdebatan antara Kakak dan Adik memang jarang terdengar di rumah, karena Gevan lebih senang tinggal di rumah besar milik Galka. Tetapi sekalinya medengar keributan yang dibuat oleh kedua anaknya, rasanya kepalanya ingin pecah. Hanna memilih untuk pergi ke dapur, menyiapkan makan malam. Biarkan saja mereka lelah dengan apa yang mereka lakukan.
"Ah mendingan bokap gue Om Arenz aja, dia tajir melintir" ujar Gevan menyandarkan punggungnya ke sofa dengan kaki yang diluruskan ke atas meja.
"Heh, emang bapak kita ga tajir?"
"Kurang" gumam Gevan pelan. Arva tergelak mendengar nya, Gevan ini lucu, apalagi jika emosinya sudah terpancing. Itu akan sangat lucu walaupun menyeramkan.
"Ayo anak-anak kita makan malam dulu" panggil Hanna dari dapur.
Keduanya pun bangkit dan berjalan beriringan menuju meja makan. Mereka bertiga minus Papa Gevan dan Arva, makan malam bersama dengan tenang dan kadang diselingi perdebatan kecil antara Gevan dan Arva. Arva merasa bahagia bisa berinteraksi banyak dengan adiknya. Sejauh ini mereka jarang sekali bertemu, Gevan yang lebih nyaman tinggal di rumah Galka, sedangkan ia sibuk kuliah di luar kota. Momen seperti ini sangat jarang terjadi, ditambah kedua orang tua mereka yang tak kalah sibuk juga.
Gevan telah menyelesaikan acara makan malamnya. Cowok itu bangkit kemudian berpamitan untuk pergi ke kamar. Arva dan Hanna merasakan keanehan terhadap sikap Gevan. Gevan yang biasanya banyak bicara dan selalu ceria, kini terlihat diam dan hanya berbicara seadanya saja.
"Adek kenapa bang?" tanya Hanna.
Arva mengendikkan bahunya tak tau. Cowok itu juga merasakan hal yang sama, yaitu bingung dengan sikap Gevan yang cenderung kalem.
KAMU SEDANG MEMBACA
Galka
Teen FictionMenceritakan tentang laki-laki yang sulit bersosialisasi karena traumanya. Galka Grysander Arenza, hidupnya sangat abu-abu bagi mereka yang mengenalnya. Hello, jangan lupa follow supaya nyaman dalam membaca hehe, aku ga maksa kok. Oh iya, FYI ceri...