12. 𝓑𝓪𝓬𝓴𝓯𝓲𝓻𝓮 𝓟𝓵𝓪𝓷

355 64 13
                                    

"Bagaimana kalau aku bilang aku ingin menghilang dari muka bumi ini?"

Mata Gusion menyipit mendengar kalimat tersebut. Pikirannya terbayang-bayang oleh pertanyaan tanpa emosi itu.

"Apa kau bisa memenuhinya?"

Night Owl dengan senang hati melakukannya, tetapi saat itu yang berhadapan dengan Lesley adalah Gusion Paxley. Bukanlah Night Owl, si assassin yang tidak pandang bulu.

"Aku telah mengirim data lebih rinci mengenai Lesley Vance melalui emailmu."

Gusion membaca file berisi kehidupan gadis yang telah menjadi istrinya itu. Dia terdiam ketika membaca lebih banyak lagi mengenai Lesley Vance.

"Informasi yang cukup... gila." gumam Aamon ketika melihat ada kata 'cambuk' dari file yang Gusion baca melalui layar komputernya. "Sejak kecil sudah diberi hukuman kekerasan fisik? Dan semua itu dilakukan oleh wanita yang berstatuskan ibunya?"

"Sepertinya itu alasan mengapa ia mengidap gangguan kecemasan." balas Fanny sambil menyandarkan tubuhnya di badan sofa. "Aku menemukan fakta bahwa sedari kecil ia telah dikurung di loteng oleh Lyssa Vance."

Aamon menggeleng-geleng tidak percaya. Dia mengambil tempat duduk dihadapan Fanny sambil meraih secangkir teh yang telah disediakan.

Meskipun keluarga Paxley terkenal akan silsilahnya dengan bermain perempuan. Tetapi, orangtua mereka tidak pernah menyiksa anaknya sampai seperti itu. Interaksi antara Paxley cenderung sangatlah dingin karena adanya perebutan hak waris.

Mungkin beda kasus bagi Gusion yang sejak kecil dibuli oleh si bodoh Gerald dan si nenek sihir, Eurisia.

"Mengapa keluarga orang-orang kaya justru lebih tak beradab?" gumam Fanny sambil memijit pelipisnya karena merasa pusing akan kelakuan orang-orang berpengaruh. "Beruntung sekali aku bisa mendapatkan file itu. Kau baru saja membahayakan dirimu dengan mencari tahu lebih rinci mengenai Lesley."

Jari telunjuk Gusion berhenti menggulir layar berisi file tentang gadis itu. Dia melihat foto Lesley dengan rambutnya terurai memandang kamera. Mata itu terlihat kosong, tidak ada cahaya dari iris birunya yang seperti batu berlian.

"Apa orang yang ingin mati akan seputus asa itu?" gumamnya merasakan hatinya berdenyut perih melihat raut muka hampa milik Lesley.

"Eh? Siapa yang mau mati?" tanya Fanny penasaran. Sedangkan Aamon tidak berkomentar, ia melirik Gusion sambil menikmati tehnya.

Baru kali ini Gusion mendengar keinginan seseorang yang benar-benar berada di luar ekspetasinya. Ditambah orang itu tidak lain istrinya sendiri.

Apa yang harus kulakukan agar matamu itu berpendar seperti cahaya bintang?

Gusion mengerjap ketika batinnya menggumamkan pertanyaan itu. Ia segera menekan tombol keluar dari file. Dia sadar perasaannya mulai terlibat disaat ia sedang memikirkan gadis itu.

Aamon yang mengamati perubahan air muka adiknya mulai bersuara. "Tidak ingin mendekatinya, brother?"

"Apa maksudmu?" Gusion mengalihkan pandangannya, bermaksud mengamati cuaca yang sangat cerah dipagi ini dengan berkas ditangannya.

"Jangan usulkan itu, Aamon. Adikmu mana mungkin mendengarkannya. Dia tidak pernah benar-benar peduli pada Lesley." decih Fanny. Dia sudah lelah meminta Gusion untuk bersikap baik dengan Lesley.

"Benarkah? Aku yakin mataku tidak salah melihat." Aamon merasa bahwa instingnya mengatakan hal yang benar. Jadi ia sedikit meragukan perkataan Fanny.

"Aamon." panggilnya menghentikan obrolan dua orang didekatnya. Dia melirik Fanny, memintanya pergi tanpa isyarat. Menyadari itu, Fanny membalikkan badannya menuju pintu keluar.

Night FlakesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang