26. 𝓝𝓲𝓰𝓱𝓽 𝓕𝓵𝓪𝓴𝓮𝓼

584 54 13
                                    

"Hanzo."

Pria yang dipanggil sama sekali tidak menolehkan kepalanya, ia sedang membaca segelintir kertas jatuh di atas tanah yang bergelimang aroma kematian. Ia mengabaikan cairan kental berwarna merah yang mengotori tubuhnya sambil menggumam pelan.

"Kau tidak akan membunuhku, kan?!"

Pria itu menguap pelan, masih memokuskan pandangannya pada dokumen yang digenggamnya.

"Hanzo!!"

Panggilan itu begitu melengking memanggil nama Hanzo Akuma yang baru saja membunuh dua orang secara tragis dan menyisakan seorang wanita terikat di kursi kayu yang reyot.

"Ja-Jangan bunuh aku!!"

"Kau ini berisik sekali," keluhnya sambil menurunkan kertas itu dari pandangannya. Dia memandang penuh nilai wanita tersebut.

"Melarikan diri setelah membawa sekian penelitian ayahku, lalu membuat kekacauan, dan sekarang dengan tidak tahu dirinya kau memohon dirimu demi menyelamatkanmu sendiri." terang sang pria bersurai merah itu sambil memegang pisau di tangannya. "Aku mau terkejut, tapi kau merupakan jalang sialan yang hanya memikirkan dirimu sendiri."

Tubuh Alice gemetar akan ketakutan ketika mata pisau itu menempel pada ujung lehernya. Hanzo menyeringai melihat reaksi wanita ini.

"Apa kau akan melupakan kebersamaan kita?! Kau mau membunuhku begitu saja?! Kau tidak ingat kalau aku wanita yang mampu memuaskan ranjang--KYAAAA!!!"

Hanzo berkedip, ia baru sadar kalau ia telah mengangkat pisaunya tinggi-tinggi. Rupanya dia sudah ancang-ancang untuk menikam wanita ini dalam sekali tusukan. Pantas saja Alice menjerit histeris dan memandangnya horor.

"Seandainya kau bisa menjaga mulutmu, aku tidak mungkin bersikap seperti ini." Hanzo menurunkan pisau itu dan memainkannya dengan tenang.

"Katakan."

"A-Apa?"

"Valentina Paxley, atasanmu." tunjuk Hanzo pada wanita tersebut dengan mata menyipit. Membiarkan pisau itu berniat menusuk kulitnya hingga Alice merintih kesakitan. "Katakan apalagi yang nenek tua itu inginkan selain Lesley Vance."

Bibirnya yang pucat itu gemetar. Ia merasa ajalnya akan tiba dengan ujung mata pisau itu menekan kulitnya, membuat sedikit luka dan mengucurkan darah.

"Kehancuran.... Vance," rintihnya serak. Dia tidak mampu melakukan apapun lagi jika tirani di hadapannya sudah memaksanya membuka mulut.

"Tidak mungkin hanya satu, kan?" tekannya lagi. Hal itu membuat Alice terpekik karena pisau itu nyaris menusuk tubuhnya.

"Dia mau menguasai sebagian besar saham Paxley berkat kehancuran Vance, dia sengaja menjadikan Fidelio salah satu pewaris agar mudah mengendalikannya."

"Hmm..."

Selagi Hanzo memikirkan rencana yang dibeberkan Alice, suara handphonenya berbunyi. Mengisi keheningan di gedung kosong tak berpenghuni selama beberapa tahun.

Dia menarik pisaunya demi mengangkat panggilan tersebut. Mengabaikan kelegaan Alice karena tidak disudutkan oleh barang tajam itu.

"Ya."

"Otoo-san!"

Suara ceria dan kekanakkan itu mengisi telinganya, kontan merubah ekspresinya. Dia merobek lakban yang dibawanya dari saku celananya, lalu melangkah menuju Alice dan menempelkan secarik lakban ke mulut wanita itu.

"Mmpphh?!!"

Hanzo sengaja menjauhkan handphonenya, ia menatap Alice dengan seringai miring. "Kau tidak mau kan kalau tanganku terpeleset tiba-tiba menggorok lehermu?"

Night FlakesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang