Waktu

3 1 0
                                    

Memberi kepercayaan kepada seseorang, membutuhkan waktu. Sampai benar-benar kita percaya dengannya. Susah bagiku, untuk mempercayakan orang lagi. Entah apa yang terjadi di masa lalu. Abang  selalu bilang, kalau aku susah mengingat sesuatu, dan sering mengarang kejadian masa lalu. Aku pernah mengingat, menulis diary di masa lalu. Abang, dan ibu bilang, jika itu hanya khayalanmu. Kamu tidak pernah menulis diary.

Waktu ke waktu, aku percaya. Aku tidak pernah menulis diary. Aku tetap mencari buku diary di rumah, membuktikan bahwa aku benar. Namun, itu tidak terjadi.

“Selamat pagi,” sapa Putra.

“Pagi juga.” Aku mengucak mata.

“Ada apa? Kau terlihat lelah.” Putra menaruh tasnya.

“Tidak ada apa-apa. Aku datang kepagian, lagi.” Aku menoleh ke arah jendela.

“Oh iya. Sudah ngerjain PR?” Putra duduk dikursinya.

Aku terkaget. Aku tidak ingat jika hari ini ada PR.

“Ada PR?” seruku.

“Ga ada.” Putra menyengir.

Dasar. Jika situasinya tidak ada murid lain di kelas, aku sudah memukulnya. Aku mengepalkan tanganku. Hendak memukul, beneran. Aku tidak tahan. Namun, tertahan.

“Oh iya. Kamu tumben mengikat rambutmu?” tanya Putra.

Aku memegang rambutku yang diikat. Hari ini ada pelajaran olahraga. Aku mengikatnya, agar tidak ribet.

“Biar ga ribet. Hari ini ada pelajaran olahraga, kan?”

Putra ber-oh ria. Aku mengangguk. Kembali menatap jendela. Tempat favoritku dari awal. Melihat daun berjatuhan, melihat murid-murid berjalan ataupun berlari, melihat pohon berhembusan, dan melihat murid-murid yang dihukum.

Aku melihat bayangan seorang perempuan di jendela. Aku menoleh, memastikan orang itu benar-benar di belakangku. Benar. Dia di belakangku. Itu Sintyas. Aku kira dia hendak berbicara dengan Putra. Aku kembali menoleh ke jendela. Namun, dia memegang pundakku, yang membuat aku menoleh kepadanya, lagi.

“Devil,” ucapnya.

“I-iya?” jawabku gugup.

Sintyas tersenyum. “Kalau tidak salah, kamu membaca novel, kan?”

Aku mengangguk. “I-iya.”

Sintyas merupakan murid baru di kelas 11. Dia berpindah karena pekerjaan orang tuanya. Aku mengetahui itu, karena aku mendengarkan orang-orang menceritakannya. Dia sangat humble, cantik, dan juga pintar.

Sintyas ber-oh ria. Dia pergi ke depan tempat mejaku, dan duduk di sana. Murid yang mempunyai tempatnya, belum datang. Sintyas membawa tasnya ke meja tersebut. Apa dia pindah tempat duduk?

“Aku pernah melihatmu, Devil. Di perpustakaan sekolah, saat aku berkeliling dengan teman-teman kelas 11 dulu. Aku melihatmu, sedang membaca novel. Kala itu, mereka menceritakan kepadaku, bahwa kamu adalah anak orang Dukun. Aku mempercayai itu, sendirinya. Namun, 2 bulan setelah bersekolah disini, aku terus melihatmu membaca novel. Bahkan mencatat sesuatu. Setelah kamu menaruh novel itu lagi di tempatnya, aku mengambil novel tersebut, dan membacanya. Dari situ, aku tidak percaya lagi, bahwa kamu anak orang dukun. Novel yang kamu baca, menceritakan suatu cerita yang bermakna, untukku.” Sintyas menghela nafas.

“Di Balik Pelangi. Pelangi memang indah, namun di balik pembentukan pelangi, ada proses yang benar-benar panjang. Sama seperti manusia, di balik sifat seseorang, ada sesuatu yang kita tidak mengetahui.”
Aku termangu. Bena. Di Balik Pelangi. Itu cerita yang bagus. Karena bagusnya, aku membelinya. Walaupun sudah aku baca punya sekolah. Buku itu benar-benar keren, aku sudah membacanya berkali-kali. Bahkan, abang sedang membacanya.
“Maafkan aku, yang suka terjeremus orang. Belakangan ini, aku melihatmu dengan Putra, berduaan mulu. Kamu mempunyai sifat yang tidak aku duga.” Sintyas menunduk.

C(y)traTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang