Merah

7 1 0
                                    

"Hei, tunggu, Cyaraaa!" serunya.

Aku berhenti, juga memberhentikan Sintyas. Aku menoleh ke belakang. Putra mengejar. "Kenapa kamu menghiraukanku?" tanya Putra.

Aku menunjuk ke Sintyas. Sintyas hanya berhehehe saja.

"Eh? Ada Sintyas? Aku kira Cyara sendiri." Putra menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Sedangkan Sintyas tersenyum. Senyumannya seperti sedang menggodaku dan Putra. "Heee.... Jadi kamu hanya melihat Rana gitu?"

"Rana?" ucapku dan Putra berbarengan.

"He'em. Rana itu Cyara gesss. Kalau ga salah namamu Cyara Devilyna, kan?" Sintyas menunjukku. "Hoi Putra, jawab pertanyaanku!"

"Sungguh, aku tadi hanya melihat Cyara sekilas. Tadi ... ada pelanggan yang bertanya ke padaku," jelas Putra.

"Bohong!" Sintyas senyumnya semakin lebar.

"Sisi ... hentikan ...." Aku berusaha agar Sintyas tidak tersenyum jahil seperti itu.

"Kamu suka ya, sama Rana." Akhirnya, Sintyas mengeluarkan kata apa yang dia inginkan.

Putra hanya memelototi Sintyas, menggelengkan kepalanya dengan keras. Mukanya memerah, mungkin sedang marah. Akhirnya Putra balik badan, kembali ke storenya. Sintyas hanya tertawa jahil.

"Sisi, ga baik tau! Dia marah lohhh." Aku mencubit pipinya.

"Sakittt! Maaf-maaf... aku tidak bermaksud." Sintyas berusaha melepaskan cubitanku di pipinya. "Putraaa, maaf yaaa!" teriak Sintyas.

Putra berjalan sambil menunduk, dia melambaikan tangan. Entah artinya 'tidak apa-apa' atau 'aku gamau'. Hanya mereka berdua yang ngerti.

"Tapi, kenapa kamu ikut khawatir juga, Rana?"

Entah kenapa, Rana itu asing bagiku. Karena kebanyakan .... Bukan kebanyakan sih, lebih tepatnya orang-orang sekitarku manggil aku itu 'Cy'.

"Aku bukan khawatir ... hanya saja mukanya merah tadi." Aku melepas cubitanku.

"Dia merah karena malu, apa yang aku omongkan itu benar. Makanya dia tidak mau jawab." Sintyas memegang pipinya.

"Heh! Dia marah tau!" ketusku.

Sintyas hanya mengejekku, bilang bahwa aku dan Putra pasangan yang cocok. Ingin sekali aku mendorongnya ke semak-semak, jika di sini ada. Karena kesal, aku berniat menangkapnya agar dia diam. Dia sudah lari duluan, aku mengejarnya. Mengingat karena kami sedang di tempat umum, kami urungkan untuk kejar-kejaran. Aku hanya mendumel ke Sintyas.

Waktu sudah siang, saatnya pulang. Sesuai perjanjian 'pertanyaan ibu'. Hari ini sangat menyenangkan, aku harap banyak hari menyenangkan lagi.

C(y)traTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang