Tidak Mungkin

3 0 0
                                    

***

Sekarang, jam pelajaran olahraga. Aku sudah selesai mensalin baju. Kali ini, ditemani Sintyas. Dia sangat bersemangat, saat aku menyetujuinya. Di sisi lain, aku gugup. Ini pertama kalinya, aku berjalan dengan murid perempuan.

“Sudah selesai?” tanyanya.

Aku mengangguk.

“Baiklah, ayo.” Sintyas menarik tanganku.

Aku menerimanya. Mengikutinya, ke lapangan. Hari ini olahraganya materi tentang roll depan. Aku sangat ahli dengan roll depan, tidak dengan roll belakang. Pak Jun, menyuruh kami praktik roll depan. Ada siswa yang tidak bisa, disuruh mengulang sampai bisa. Tentunya, matrasnya dibagi sendiri-sendiri. Perempuan sendiri, laki-laki sendiri.

Murid perempuan ada beberapa yang tidak bisa, jadi memilih belakangan. Baiklah, aku pertama yang melakukannya.

Berhasil!

Sintyas yang melihat itu takjub. Dia tak ingin kalah, dan mencobanya. Saat percobaan pertama, dia menggelinding. Dia tertawa, menanyaiku caranya agar bisa. Percobaan kedua, dia gagal lagi. Dia tertawa, dan mengomel. Percobaan ketiga, dia hampir berhasil. Namun menggelinding lagi. Aku tertawa kecil melihatnya. Dia tetap berusaha, sampai di percobaan ketiga dia menyerah.

“Aduh, leherku sakit banget!” keluhnya.

“Cyara. Gimana supaya bisa roll depan?”

Aku mengagkat bahu. “A-aku .... B-bisa s-s-sendirinya.”

Sintyas menghela nafas. “Kalau sama aku, jangan gugup.”

Aku mengangguk. Memperhatikan murid yang lain. “M-maaf, k-kalau aku g-gugup.”

Sintyas melihatku. “Tak apa. Pasti .... Butuh waktu untuk percaya kepada seseorang.”

“Pantas saja, Putra menjelaskannya kepadaku. Dia tak ingin kamu disakiti lagi, ya? Kalian teman masa kecil?”

Aku menggeleng dengan cepat. “B-bukan! D-dia tidak b-bermaksud menyinggungmu. D-dan, k-kami bukan t-teman masa ke-kecil!”

Sintyas mengangguk, tersenyum.

“Ada waktunya, kau tidak akan gugup dan percaya kepadaku. Cyara, aku menunggunya.” Sintyas berdiri, hendak melakukan roll depan lagi.

Aku termangu. Sintyas menungguku. Dia serius. Aku harus cepat, menumbuhkan rasa percaya kepadanya. Sebelum terjerumus orang lagi.

Sintyas berhasil melakukan roll depan dipercobaan keenam. Semuanya bertepuk tangan. Aku termasuk. Dia melirik ke arahku. Aku memberikan dua jempol. Dia senang.
Jam pelajaran olahraga sudah habis, 1 jam sesudah Sintyas berhasil roll depan. Aku mensalin baju lagi, ini peraturan sekolah. Agar ruagan kelas tidak bau keringat. Aku sudah selesai mensalin, dan mengikat rambut. Aku lupa membawa parfum, agar wangi. Aku melihat Sintyas sedang menyemprotkan parfum dibajunya. Sadar sedang dilihat, aku langsung melihat arah lain.

“Mau parfum?” Sintyas menyodorkan parfumnya kepadaku.

Aku ragu. Aku ingin memakai parfum, tapi aku tidak enak. Sintyas merasa aku ragu. Tanpa basa-basi, dia langsung menyemprotkannya ke bajuku. Aku terkaget. Setelahnya, Sintyas tersenyum.

“T-terima kasih!” ucapku.

“Sama-sama. Lain kali kalau mau bilang aja, gausah ragu. Ayo, balik ke kelas.” Sintyas menarik tanganku.

Aku mengangguk. Dan mengikuti Sintyas ke kelas.

Sesampainya, aku duduk di mejaku. Mengambil bekal. Putra baru kembali. Putra menceritakan apa yang terjadi saat kelompok laki-laki roll depan. Itu lucu. Ada yang menggelinding, bahkan keluar dari matras. Aku tertawa. Putra juga menceritakan Eisa, yang ingin bertemu denganku.

C(y)traTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang