Si

3 1 0
                                    

Sudah 2 minggu berlalu. Aku dan Sintyas sudah dekat. Aku sudah tidak gugup dengannya. Sintyas merasa senang dengan ini. Entah kenapa .... Putra juga ikut senang.

“Cyaraaa!” Sintyas melambai-lambaikan tangan sembari menujuku.

Aku tersenyum, memiringkan kepalaku. “Ada apa?”

Mata Sintyas terbuka lebar. “Hah .... Berhasil?”

“Berhasil apa?”

“Aaa! Akhirnya!”

Sintyas memelukku. Aku agak kikuk. Kaku saat dipeluk. Aku bingung, aku harus bagaimana?

“Tolong panggil aku Sisi, Cya.” Sintyas menepuk-nepuk punggungku.

Aku mengangguk. Entah dia merasakan aku mengangguk atau tidak. Putra yang dari tadi melihatku, hanya terkekeh. Aku memberikan kode, tolong aku.

“Sintyas, Cyara sesak.” Putra menyengir.

Sintyas cepat-cepat melepasnya. Membungkuk 90 derajat, meminta maaf. Aku membungkuk juga, menyuruhnya menaikkan badannya. Aku tidak sesesak yang dia pikirkan. Dia menaikkan badannya, tertawa. Aku juga, ikutan tertawa. Lalu Sintyas kembali ke tempat duduknya.

“Bagaimana?” Putra bertanya.

“Senang?” Aku kembali duduk.

“Baguslah .... Kalau begitu. Rasanya bagaimana?”

Aku hanya menunjukkan tangan kananku yang masih gemeteran. Putra melihat tanganku dengan saksama, sepertinya dia salah fokus dengan yang lain. Lantas, dia menyamakan tangan kirinya di sebelahku. Matanya terbuka lebar, melihat tanganku dan tangannya lagi.

“Jarimu ... kok beda, ya?” Putra melihat ganti-gantian tanganku dengan tangannya.

“Aku juga heran, awalnya. Abangku sering juga membanding-bandingkan perbedaan tanganku dengannya. Kata ibuku, ini bantet.” Aku menggerakkan jari-jariku.

Putra tertawa, mengatakan bahwa ini menggemaskan. Dia memegang jempolku, yang berbeda dari orang –orang pada umumnya. Mukaku bersemu merah. Dia sadar tidak si? 5 detik memikirkan itu, Putra melepaskannya dengan cepat, dia jadi kikuk. Aku berusaha tenang. Ayolah .... lagi-lagi bayangan-bayangannya muncul di depanku. Aku buru-buru menyapunya, seolah-olah itu memudar perlahan.

“Jangan salah sangka ya.” Putra memperbaiki rambutnya.

“Aku melakukan ini, karena kamu teman sebangkuku, bukan lebih. Aku merasa kasihan jika kamu sendiri. Biasanya, perempuan mudah bergaul. Namun, kamu berbeda. Mungkin ada yang sama denganmu, aku baru pertama kali melihat orang yang benar-benar sendiri. Maka ... aku memutuskan untuk berteman denganmu.” Putra menatapku.

Aku mengerutkan alis. “Awalnya, aku kira kita hanya sebatas sebangku.”

“Eh?”

“Saat aku mencatat materi banyak, aku terkaget dengan pernyataanmu, bahwa kamu menganggapku teman. Tentunya, kamu membantuku selama ini karena kita teman. Aku tidak akan salah sangka. Mukaku bersemu merah bukan karena aku masih belum bisa mengkontrol emosi. Jadi, kadang itu muncul begitu saja. Terima kasih.” Aku tersenyum.

Putra menahan reaksi malu. Entah malu karena apa, aku tidak memikirkannya karena bel sudah berbunyi.

C(y)traTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang