27. Kembali Asing

391 31 13
                                    

Prakk

Kantong plastik putih berlogo salah satu nama apotek yang kini isinya berceceran di lantai itu tak membuat laki-laki dengan balutan kemeja biru sebagai outer itu gentar. Menatap datar manusia di depannya.

Setelah menginjakkan kakinya di sebuah rumah bak istana yang jauh dari kata terawat- atau lebih tepatnya seperti rumah tak berpenghuni, Garda menghela napasnya samar. Merasa miris sebenarnya dengan laki-laki jangkung di depannya.

"Gue nggak butuh lo kasihani," desis laki-laki dengan tone rambut berbeda itu tidak suka.

Dan untuk kesekian kalinya, hanya penolakan lah yang Garda terima.

Beberapa hari lalu, Garda juga sempat meminta orang untuk membersihkan rumah ini. Tapi sang penghuni menolak mentah-mentah. Bahkan sampai melukai suruhannya sangking tidak maunya.

Garda mendecih, "makin lama lo makin gila, tau Ron."

Baron tertawa, hambar. Baginya semua yang Garda ucapkan hanyalah omong kosong belaka.

"Besok peringatan hari kematian-"

"Peduli lo apa?!" potong Baron sebelum Garda menyelesaikan kalimatnya. Ada gurat sedih di wajah laki-laki jangkung itu. "Kalo lo nggak bunuh mereka pasti gue nggak semenderita ini brengsek!"

"Lo yang bunuh keluarga lo sendiri!"

"SIDIK JARI LO JELAS ADA DI SANA!"

Baron mencengkeram erat kerah kemeja Garda. Dari sorot mata itu, Garda dapat melihat besarnya rasa benci laki-laki itu padanya. Di mana rasa benci, sakit dan sedih, bercampur menjadi satu.

Sahabat kecilnya yang kini berbeda.

----oOo----

"Terima kasih atas kerja keras semua kru dan staf hari ini. Semoga produk kita yang segera diluncurkan mendapatkan respon positif dari masyarakat."

Setelah ucapan terima kasih dari beberapa petinggi brand yang hadir dalam proses pemotretan siang hari itu, semua orang berkumpul menikmati beberapa makanan yang segaja dihidangkan sebagai penutup kegiatan.

Tapi gadis yang ada di pojok ruangan itu terlihat sibuk sendiri. Mengutak-atik benda pipih di tangannya, nampak gelisah.

Pasalnya sejak semalam orang yang berusaha dia hubungi, tidak juga mengangkat panggilannya. Dia kesal.

Aerin ingin meminta maaf pada Garda. Dia merasa bersalah karena sudah menghardik laki-laki itu semalam.

Duh, apakah laki-laki itu marah padanya sampai-sampai enggan menjawab panggilannya?

Sepertinya, ya ...

"Nomor yang anda tuju tidak dapat menerima panggilan ini. Tekan satu untuk meninggalkan pesan suara."

Bahu Aerin merosot. Mendadak merasa kenyang mendengar suara operator itu sejak semalam.

Tidak ada cara lain. Dia harus-

"Mbak, aku pulang dulu ya. Ada urusan mendadak nih," ucapnya. Menggaet tote bag di meja dengan sedikit tergesa.

Perempuan berusia pertengahan 30 yang disapa 'Mbak' itu asyik menyantap pudding dengan kru yang lain di meja bundar. Kemudian mengalihkan perhatiannya.

Namun sebelum perempuan itu bangkit, Aerin dengan cepat mengangkat satu tangannya. "Nggak perlu dianter, aku bisa sendiri kok."

"Yakin kamu? Rumahmu jauh, lho, dari sini. Mbak anter aja, ya."

Namun Aerin kembali mengibaskan tangannya. Betul-betul menolak tawaran Namira, rekan kerjanya yang sudah dianggap sebagai kakak perempuannya.

"Serius. Aku nggak masalah pulang sendiri. Ini juga udah pesen taksi online. Sayang kalo di cancel, kan." Gadis yang masih memakai dress ungu bekas pemotretan yang belum diganti itu menyengir lebar. Menampakkan gigi-giginya yang rapi.

GARDA: Evanescent✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang