23. Agustus

291 20 1
                                    

Hope you like it
and
Happy reading~

----oOo----

Derap langkah kaki yang menuruni tangga itu membuat kebisingan mendera sunyinya rumah kala itu. Si pelaku terlihat urakan. Rasa panik memenuhi pikirannya. Sehingga membuat anak laki-laki yang sibuk dengan PlayStation-nya di bawah sana terganggu dengan eksistensinya.

Menjeda aktivitasnya sejenak, Kevin menoleh ke arah si sulung Kartanegara. Menatap kakaknya yang sangat acak-acakan dengan raut panik. Grasah-grusuh menuruni tangga secepat kilat.

"Abang nggak pa-pa?" tanya si bungsu dengan alis berkerut.

"Aerin di mana?" Paniknya setengah mati. Lagi pula bagaimana gadis itu bisa keluar dari ruangannya begitu saja, tanpanya. Apa jangan-jangan ... Bimo yang mengeluarkan gadis itu?

"Dianterin pulang sama Mas Elang. Lagian ini udah pagi, Bang," tandas Kevin pada akhirnya yang kini membuat Garda melongo.

"P-pagi?" Dengan cepat Garda melirik jam dinding. Sial. Pukul 9 pagi? "Kenapa Elang bisa bawa Aerin pergi?" tukasnya.

"Itu--"

"Saya yang bukakan pintunya, Mas. Semalam Mas Elang maksa bawa Mbak Aerin pulang," sahut seseorang yang tak lain adalah Bimo. Laki-laki itu menunduk dalam. "Maaf saya nggak tega membangunkan Mas."

Tanpa mengeluarkan sepatah kata, laki-laki yang masih mengenakan pakaiannya kemarin itu kembali naik ke lantai dua. Melangkahkan kakinya dengan ... gontai? Entahlah. Itulah yang dapat dua manusia lain lihat pada diri laki-laki itu.

"Saya permisi, Mas Kevin," pamit Bimo yang kemudian melenggang pergi setelah mendapat anggukan lemah dari si bungsu Kartanegara.

----oOo----

Laki-laki dengan balutan hoodie oranye itu menyipitkan matanya, mengintip ke dalam. Namun tidak mendapati seseorang yang dicarinya. Jari-jarinya sudah gatal sekali untuk menekan bel yang ada di sisi gerbang. Namun gengsinya lebih tinggi. Yang akhirnya membuatnya hanya nangkring di depan gerbang rumah seperti tukang paket yang menunggu customer.

Mengetuk-ngetukkan sepatunya di atas aspal, anak itu mulai bosan. Merogoh saku hoodienya, mengambil hpnya. Dia berniat menghubungi pemilik rumah. Tapi ... lagi-lagi dia gengsi. Laki-laki itu seolah habis harapan, menjatuhkan hpnya di sisi tubuh. Duduk mengesot seraya menggerak-gerakkan kakinya seperti cacing kepanasan. Tanpa dia sadari, seseorang sudah membuka gerbang itu. Menahan tawa karena tingkah aneh anak laki-laki itu.

"Garda sejak kapan di sini?"

Bias suara itu jelas mengejutkan Garda. Laki-laki itu terlonjak, membulatkan matanya. Salah tingkah. Bahkan saat mencoba untuk berdiri, dia sempat sempoyongan dan hampir jatuh sangking salah tingkahnya.

Garda menegakkan tubuhnya seraya tersenyum kikuk. Tergagap-gagap menjawab, "b-barusan ta-tante."

"Oh ya?" Arumi terkikik. Wanita itu membuka gerbang lebih lebar. "Nyari Aerin ya? Tapi sayang Aerin nya nggak ada di rumah, nih," tutur Arumi tidak melunturkan senyumannya.

Garda menggeleng. Namun sayangnya yang di otak tidak sinkron dengan yang di hati. "Di mana tante?" Diam-diam merutuki mulutnya yang tidak bisa diajak kompromi.

"Di lapangan deket warung nasi gorengnya Mas Bambang, lagi liat lomba tujuh belasan." Garda baru ingat kalau hari ini adalah tanggal 17 Agustus. Pantas saja tanggal merah. "Garda mau samperin Aerin nggak? Barengan sama tante. Kebetulan tante mau ke sana sekalian nganterin gorengan," ujar Arumi, menunjukkan kontainer kecil yang ditentengnya.

GARDA: Evanescent✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang