Bukan, bukannya Jemie tidak berterimakasih kepada kakak seniornya yang sudah berbaik hati memberikan tumpangan untuk pulang. Tetapi dia akui motor mahal Abithar amat tak cocok dengannya, pinggang gadis itu hampir keram berusaha menyamankan posisi, jok belakang nya lumayan tinggi.
Dengan helaan nafas Jemie melirik lampu lalu lintas yang merah, mulai menghitung mundur untuk segera menuju si hijau. Cuaca yang terik membuat Jemie habis-habisan melindungi kulit wajahnya dari mentari, dia melirik Abithar lewat spion. Tak ada gunanya karena cowok itu mengenakan helm full face, yah, anggap saja Abithar juga sedang meliriknya.
Setelah lampu bergilir hijau, Jemie mulai berpegang erat pada perut Abithar, dia mengoceh panjang perihal kakaknya yang memaksa dia untuk mengikuti ekskul karate, tim pemandu sorak yang berencana membuat kostum baru juga seni lukis yang akan mengadakan pertemuan lusa.
Tidak ada respon kecuali anggukan dari si pengemudi berplat 'ABTHR' ini. Walau begitu Jemie tetap gencar bercerita, dia ternyata butuh orang-orang tipikal Abithar yang hanya menjadi pendengar, masa bodoh ingat atau tidak.
Lubang kecil di jalan sedikit membuat motor ganteng itu bergejolak pelan, Jemie meringis ketika dagunya mengenai helm Abithar.
"Aw!"
Terlihat Abithar menurunkan kaca helmnya setengah, dia melirik Jemie lewat spion.
"Sakit?"
Jemie menggeleng mantap "Enggak kok, enak" dustanya mendengus kasar. Sudah jelas sakit, kenapa orang pintar ini bertanya diluar nalar sih?
Tidak terdengar, Abithar menghela nafas pendek, cowok itu tidak mengeluarkan respon apa-apa lagi. Tetapi saat di pertikungan jalan, dia membelokkan motor gantengnya ke arah kanan, sehingga mereka berdua menelusuri jalan yang berjejeran ruko-ruko besar. Terlihat baru dibangun sebab hanya beberapa saja yang ditempati. Diantaranya adalah toko baju bermerek, kedai kopi, laundry dan beberapa bengkel kelas atas.
Jemie menaruh dagunya di bahu Abithar sebelum bertanya "Mau kemana, kak?"
Tetapi yang ditanya tidak menjawab seolah menyarankan agar gadis itu bersabar karena sebentar lagi maksud dan tujuannya akan tiba.
Mereka berbelok masuk ke dalam area ruko-ruko, Abithar memarkirkan motornya rapi di depan sebuah toko besar yang dominan berwarna hitam. Ada layar plasma besar yang tertempel di lantai dua bertuliskan 'Ride Materials' seolah menjawab pertanyaan Jemie.
Netra gadis itu bisa menangkap beberapa objek yang menonjol. Meja kasir yang paling depan dihiasi beberapa miniatur motor vespa versi lama, bola billiard dan botol-botol kaca wine yang sudah kosong seperti sengaja untuk menjadi pajangan. Di bagian dinding dalam, berjejer jaket kulit dan kaus hitam berlogo aneh yang jarang Jemie lihat. Bagian meja panjangnya banyak helm yang berbaris seolah menatap para pengunjung dari balik kaca.
Jemie berdecak kagum, dia bisa menghirup aroma kopi ketika memasuki toko itu. Lagi-lagi ketika lebih dalam matanya menatap sesuatu yang menarik, sepeda motor yang tampak antik dipajang di dekat tangga menuju lantai dua, lantainya terbuat dari kayu dan dinding-dinding penuh dengan ilustrasi-ilustrasi khas pikiran laki-laki era 2000-an.
Gambaran bengkel jauh-jauh Jemie buang. Dia melirik Abithar yang sedikit bercakap dengan seseorang. Sepertinya itu teman lama, karena cowok yang mengenakan jaket abu-abu itu terlihat menyapa akrab Abithar, dia menyambut ramah sebelum mengangguk-angguk ketika Abithar meminta sesuatu. Cowok itu berbalik menuju pintu kayu yang bertuliskan 'premium'.
Selepas itu, Abithar meraih helm di atas meja kaca, berwarna cream susu, seperti memang dibuat untuk kalangan pengemudi feminim. Cowok itu melepaskan kaitannya lantas memakaikan benda tersebut di kepala Jemie. Abithar mundur selangkah menatap Jemie lama seolah mencocokkan gadis itu dengan helm tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Precious Jema
Teen FictionSebut saja Jema, gadis pelupa, cerewet dan moody-an yang baru saja menduduki kelas 10 tersebut tahu-tahu harus mengikuti ekskul karate yang sama sekali jauh dari ranahnya. Memang tidak begitu 'oke' dengan karate, Jemie hanya betah di ekstrakulikuler...