ocho - boleh

123 22 3
                                    

Jemie menghentikan langkah ketika dirinya sampai di gedung loker siswa laki-laki, beruntung tidak butuh akses khusus untuk masuk ke sana sehingga dia bisa leluasa tanpa perlu pemeriksaan atau hal menyebalkan lainnya. Dia bisa melihat tanda panah dengan blok-blok berbeda.

Loker pun diatur seperti perumahan, dan yang Jemie dengar dari grup rumpi milik Fidya, loker milik 'emas' Dan Buenos dapat dikenali. Mereka bertiga ditempatkan di paling kanan dan berbeda watna dari yang lain. Mereka hitam sendiri, sedangkan pelajar umumnya oranye tua. Entah bagaimana sepertinya, pendidik-pendidik dan staf-staf Dan Buenos peka terhadap ketenaran 'emas' mereka sehingga pelajar lain pun tak perlu berteori-teori kemudian menciptakan dunia novel mereka sendiri.

Emas memang sudah diakui oleh yayasan langsung dan tidak perlu diragukan lagi.

Jemie berbelok ketika berada di papan bertuliskan 'S' dia melihat tiga loker mencolok di ujung kemudian berlari kecil. Suara sepatu karet warna cream mudanya bercicit di lantai dengan anggun.

Dia memicingkan mata ketika tulisan paling kecil sedikit timbul dan mencolok sedikit familiar. 'Umar bin Khattab' begitu kalimat nya, Jemie menahan tawa. Sungguh dia tahu cerita bahwa setan-setan atau apalah itu memang sangat takut oleh salah satu khalifah tersebut sampai-sampai melihat sandal Umar pun setan akan terbirit-birit, akan tetapi mengapa harus dipajang di loker?

Jemie tebak, Javio memiliki selera humor yang cukup aneh.

Karena yakin bahwa loker itu tak dikunci Jemie pun membukanya dengan hati-hati. Dia bisa melihat jelas foto-foto monokrom yang dipajang di bagian pintu dalam loker, hoodie biru navy yang lipat, ada kotak makan transparan yang bisa Jemie lihat bahwa isinya adalah bolu coklat, sarung dan peci kecil diletakan di dekat parfum yang sudah tinggal setengah. Isi loker Javio cukup membuat cewek seperti Jemie geregetan untuk membenahinya.

Teringat dengan tujuan, gadis itu segera menarik laci bagian tengah, dua langsung menemukan setelan seragam olahraga abu putih Dan Buenos, di bagian kerahnya tertulis 'jave'. Jemie manggut-manggut puas, dia menutup loker Javio pelan.

Baru saja ingin melangkah, dia langsung mengalihkan perhatian ketika loker paling ujung yang berbeda satu loker saja darinya di buka. Seseorang yang amat familiar itu. Tentu sesuai urutan loker. Dia adalah Abithar.

Jemie memperhatikan Abithar dengan ragu-ragu. Rambut cowok itu sedikit basah, dia melipat sajadah kemudian memasukkannya ke dalam loker.

"Kak Abim?" panggil Jemie berusaha memecah keheningan.

Abithar menoleh, wajahnya merengut aneh "Kamu sedang apa disini?" dia menyita seluruh perhatiannya, melirik loker Javio dan berganti menatap Jemie.

Jemie tercengir lebar "Aku ngambil baju olahraga nya kak Javio"

Alis Abithar semakin bertaut dalam "Javio nyuruh-nyuruh kamu?"

"Eh, enggak! emang aku yang minta disuruh-suruh, kok, soalnya tadi lagi di setrap terus bu Astuti minta aku nemenin kak Javio ke ruang modifikasi terus karena ga ada kerjaan lagi aku minta disuruh-suruh sama dia" jelas Jemie panjang.

Abithar mengangguk-angguk paham, dia masih sibuk menata isi lokernya, menyugar rambut basahnya sekilas sebelum menarik laci paling atas.

Gadis itu mendekat, melirik loker Abithar sejenak. Dia hampir berdecak kagum kalau tidak dicegah, bisa terlihat beberapa parfum Abithar di bagian dalam, tongkat bisbol yang disandarkan ke sudut, foto kecil dan foto teman-temannya yang dihias secara rapih di dinding loker, sweater hitam The Beatles yang sama dengan Jemie, lalu ada novel bertuliskan 'Mario Puzo - The Sicilian' yang tak Jemie mengerti.

Jemie tersenyum kecil, Abithar rapih sekali. Lokernya tidak terlalu penuh tetapi diatur sehingga mudah dicari.

"Kak Abim sendiri? Habis ngapain?" tanya Jemie balik.

Abithar mengeluarkan cardholder, dia memasukkan beberapa kartu ke sana kemudian menjatuhkannya ke dalam ransel hitam.

"Shalat di masjid"

"Eh? Shalat apa?"

"Shalat dhuha, Jemie"

Duh, kalau begini mana ada orang-orang yang menolak Abithar? Cowok itu terlalu sulit digapai sampai Jemie pun bingung kenapa orang seperti ini mau tinggal di Indonesia? Mau bersekolah? Kenapa ingin menuntut ilmu padahal sudah pintar dan berprestasi.

Jemie menggigit bibir dalam nya ragu-ragu.

"Kak Abim" panggil dia pelan.

Abithar menoleh.

"Kalau aku minta peluk, boleh gak?"

Rasanya dia ingin menarik ucapan itu. Sungguh padahal niatnya Jemie akan pura-pura mengatakan 'eh gak jadi, aku lupa' tetapi kenapa terlontar begitu saja? Bagaimana kondisi mukanya saat ini? Apakah sudah pantas menjadi kepiting?

Jemie menghela nafas gusar, dia membuka mulut untuk menarik ucapan.

"Engga-"

"Boleh"

Seperti pelangi di siang bolong, Jemie ingin senyum-senyum sepanjang hari setelah mendengar satu kata itu.

Jemie mendekat, lantas mendekap Abithar erat. Nyaman sekali bisa memeluk cowok teladan dan keren sepertinya, Jemie mungkin sedang bermimpi. Tetapi dia tepis jauh-jauh hal tersebut karena Abithar sedang memeluknya kembali, mengelus punggung nya pelan.

"Maaf ya kak, shalat dhuhanya jadi sia-sia"

"Salah siapa?"

"Salah aku"

"Salah berdua, Jemie"

•° Le précieux Jema °•

Hampir-hampir Jemie mendorong kening Fidya ke belakang untuk menghentikan aksi sahabatnya yang gila tersebut. Melihat kuah bakso yang memerah dan tak karuan membuat Jemie bertanya-tanya dengan cita rasanya yang sudah hancur.

Fidya memang kurang waras soal pedas, dia tak bisa mengontrol nya, lihatlah bahkan dia sudah meneteskan peluh di dahi.

"lo sinting" ketus Jemie bergidik ngeri

Fidya mengangkat bahu "lo harus sering-sering makan pedes, biar cepet pinter"

"emang lo pinter?"

"ya enggak sih"

Jemie tersenyum cemooh, dia melirik sudut kantin yang ramai perhatian jauh oleh penghuni kantin. Dia bisa melihat kelas dua belas akhir yang sedang bercakap-cakap, diantara nya ada Abithar bersama kawan-kawan. Cowok itu masih mengenakan kemejanya dengan rapih, berbeda dari Haja atau Matthew yang hanya memakai kaus.

Abithar terlihat sibuk dengan ponsel. Dia sesekali mengangguk ketika temannya bertanya sesuatu.

Fidya menjentikkan jari di depan wajah Jemie "Hadeh, lo gak usah ngarep, kak Abithar itu ketinggian, mending deketin temen yang setingkat aja dulu" nasehat dia menggeleng-geleng tidak setuju.

Jemie hendak memprotes namun dia batalkan niat itu, setidaknya dia sudah bisa dibilang dekat dengan Abithar kan? atau memang Abithar dekat dengan siapa saja? Jemie menangkup pipi berasumsi hingga kepalanya pusing.

"Gue deket kok sama dia" pada akhirnya dia mengucap.

Fidya mendengus "Ya sebagai mentor dan anggota didik ekskul, kan?"

Jemie merengut, memangnya kalau sudah pelukan begitu masih kurang dekat?

"Gue diem aja deh, ntar lo kaget kalau gue ngomong" Jemie menyerah.

Fidya mengipas-ngipas wajahnya yang berkeringat, dia tersenyum miring "Udah-udah ngehalu mulu, nih makan bubur china"


[]

The Precious JemaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang