Sudah dua puluh menit lebih Jemie terlelap di lengan Abithar, deru nafas hangatnya terdengar damai. Rinai hujan masih mengguyur ibukota yang sibuk akan hiruk-pikuk penghuninya, seolah cuaca tak membuat mereka gentar.
Abithar menunduk sekilas, dia memerhatikan Jemie yang menggeliat kedinginan dibalik selimut, menunggu-nunggu barangkali gadis itu mengeluarkan pergerakan yang tak terduga, tetapi itu tidak berlangsung. Alhasil Abithar mengelus punggung Jemie untuk kembali tertidur.
Walau begitu, dia sibuk memerhatikan layar televisi yang menampilkan Channel Nat Geo Wild, sekawanan Gajah yang bermigrasi dari Padang rumput ke lokasi selanjutnya. Menurut Abithar, acara-acara televisi seperti inilah yang menarik, membuat orang-orang dapat memperluas edukasi sebanyak mungkin.
Jemie merengut, dia mengerjap-ngerjap kan matanya pelan sebelum kelopak itu terbuka. Gadis menghirup dalam-dalam aroma khas kakak senior yang sedang mendekapnya itu, ditambah hidungnya yang menyentuh dada Abithar.
Merasakan bahwa Jemie memperbanyak gerakannya, Abithar menunduk, dia bisa melihat adik kelasnya yang satu itu tersenyum-senyum sembari menempelkan pipi ke dadanya.
"sudah bangun?" tanya Abithar.
Jemie mengangguk mantap "iya."
Beberapa menit hening tak ada suara selain sound speaker dari televisi.
"kamu tidur dua puluh lewat empat menit." tukas Abithar.
Jemie mengaduh, dia sedikit menjauhkan diri dari tubuh Abithar.
"duh, maaf, kak Abim pasti pegal." sesal dia, memalukan sekali. Gara-gara Abithar yang sangat detail sampai memerhatikan waktu, Jemie jadi kepikiran apakah wajah jeleknya saat tidur juga terlihat detail di mata cowok itu?
Abithar menautkan alis, dia menggeleng pelan dan berusaha menarik pelan lengan Jemie untuk kembali berbaring.
"bukan, maksud saya kok bisa kamu tidur hanya dua puluh menit." jelas dia berusaha meluruskan kesalahpahaman "saya kalau tidur paling sebentar, satu jam setengah" lanjut nya.
Jemie mendengus kesal kemudian kembali memeluk perut Abithar gemas, gadis itu menarik sudut bibirnya berusaha berpikir untuk menjawab keheranan seniornya itu.
"kalau itu sih aku kurang tau, mungkin keturunan Mama." jawab Jemie seadanya dan Abithar tampak mengangguk samar.
Unit kembali hening, udara dingin dari air conditioner yang menyala dan cuaca hujan bercampur menjadi satu, membuat Jemie berpikir bahwa mereka sedang berada di musim salju. Sound speaker televisi yang memperdengarkan suasana padang rumput sedikit meramaikan gendang telinga, sehingga kedua orang yang sedang berbaring itu menyita perhatian mereka menuju layar.
Tetapi, pikiran Jemie tak berada fokus pada layar tersebut.
Dia hanya sedang berpikir, dengan interaksi nya bersama Abithar yang terbilang amatlah intim apakah cowok itu benar-benar tak merasakan ada yang berbeda dari sebelumnya?
Jemie bahkan bisa melihat pendaran cahaya biru yang mengelilingi kepala Abithar.
Nyaman.
Hanya itu. Bahkan Jemie pun selalu merasakan nyaman di dekat orang-orang terdekat. Itu berarti, dia memang tak memiliki posisi penting dia mata Abithar.
Sebatas junior dan senior. Tidak lebih.
Jemie menghela nafas panjang, dia melepas dekapan Abithar kemudian bangkit berdiri.
"aku mau pulang sekarang aja, ya." ujarnya sambil mengikat rambut.
Abithar menoleh aneh, ekspresi nya tidak dapat terbaca. Hanya sebuah kerutan alis dan tatapan heran yang ditunjukkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Precious Jema
Fiksi RemajaSebut saja Jema, gadis pelupa, cerewet dan moody-an yang baru saja menduduki kelas 10 tersebut tahu-tahu harus mengikuti ekskul karate yang sama sekali jauh dari ranahnya. Memang tidak begitu 'oke' dengan karate, Jemie hanya betah di ekstrakulikuler...