002

184K 5.2K 73
                                    

Sean mengusap kasar wajahnya, pemuda itu terlihat lelah dengan tingkah Anya yang didominasi oleh hal yang buruk. Layaknya saat ini, Sean baru saja menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, kekasihnya terlibat dalam sebuah  pertengkaran di kantin.

Dan disinilah keduanya berada, ruang OSIS. Hanya berdua.

"Denger tadi Bu Puspa bilang apa?" Tanya Sean memulai pembicaraan, ia menarik lengan Anya agar menjadi lebih dekat. Anya tak menolak, gadis itu senantiasa tetap berkaca di cermin kecil yang selalu dibawanya, memastikan rambutnya tetap badai setelah aksi jambak-menjambak bersama musuh bebuyutannya satu jam yang lalu.

"Denger," Sahut Anya pelan, tak ingin memancing keributan lain dengan kekasihnya.

Mendengar nada malas Anya, Sean menghela napas berat, terlalu hafal dengan kebiasaan Anya yang seolah-olah menyesal kemudian melakukannya kembali dan begitupun seterusnya. Sean meregangkan otot-otot miliknya dengan bersandar ke sofa, sadar akan sesuatu, matanya mendapati bahwa jaket yang ia pasangkan tadi pagi sudah tidak berada di pinggang Anya.

"Kemana jaket gue?" Tanya Sean yang sontak membuat mata Anya membola, gadis itu berhenti merapihkan rambutnya. Otaknya berpikir keras demi menemukan alasan yang masuk akal, masalahnya jaket itu entah kemana sekarang, bahkan ia tidak menyadari setelah aksi berkelahi dengan temannya itu.

"Anya! Kemana jaket gue?!" Ulang Sean dengan nada tinggi, lelaki itu bukan mempermasalahkan jaketnya yang hilang, melainkan bokong dan paha Anya yang dapat dilihat bebas oleh siapapun terutama laki-laki. Sial, sifat posesifnya muncul lagi.

"Nungging!"

Plak!

Plak!

Plak!

Sean menghentikan pukulannya pada bokong berisi milik gadisnya yang kini menungging dengan menggigit bantal sofa yang dipeluknya. Bukannya kesakitan, gadis itu malah mendesah nikmat.

Dengan sigap, Sean mengangkat tubuh Anya untuk duduk di pangkuannya. "Itu hukuman buat lo karena udah lepas jaket gue."

Napas Anya memburu, ia menenggelamkan wajahnya di leher Sean hingga Sean merasakan napas hangat gadis itu menerpa titik sensitifnya membuat libidonya semakin meningkat.

Anya yang duduk tepat di atas pangkuan Sean, merasakan bahwa ada sesuatu yang mengeras dibalik celana Sean. Rasa jahilnya kembali muncul, Anya menggerakkan pinggulnya maju mundur, menggoda kejantanan Sean dari luar.

"Anya, stop atau gue perawanin lo sekarang." Peringatnya, namun Anya tetaplah Anya, ia terus menggesekkan bokongnya pada kejantanan Sean. Meskipun terhalang oleh kain bawahan yang mereka kenakan, dapat Anya rasakan bagaimana besarnya 'masa depan' Sean itu.

"Sialan, Anya!" Bentaknya membuat Anya terkekeh geli.

"OMG, ketua OSIS bisa kasar juga," Anya terkekeh geli, pasalnya ia sangat jarang bahkan hampir tidak pernah mendengar Sean berucap kasar layaknya tadi. Seperti yang ia dan sebagian banyak orang ketahui, Sean adalah sosok pemuda yang jauh dari kata buruk.

Anya merasa sedikit bangga karena dapat melihat sisi lain dari Sean, bahwa laki-laki itu tidak kaku—sebagaimana orang lain berucap tentang Sean.

"Anyway, tadi kamu kok gak belain aku, sih!" kesal Anya seraya memundurkan tubuhnya dari pangkuan Sean, memberi jarak sedikit agar bisa melihat jelas wajah tampan pacarnya.

"Lo yang salah."

"Serius, by, dia duluan yang jambak aku pas aku lagi mam di kantin, dia main tuduh aku lagi ngajak Cakra minum terus nge-room kek—what did she say, ngent—"

BACKSTREETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang