015

83.4K 3.1K 69
                                    

Sean memasuki area kantin, seorang diri. Memang selama ini ia punya teman? Haha.

Ia melirik meja yang biasanya ditempati oleh Anya dan kelima temannya, terisi—namun tidak ada Anya.

Ia tidak berani mengaktifkan ponselnya, ia terlalu takut untuk sebuah pesan yang bisa saja perempuan itu kirimkan.

Kemana Anya?

Perempuan itu tidak pergi sekolah?

Ia sengaja tidak menjemput Anya seperti yang biasa ia lakukan, dan lagi-lagi jawabannya takut. Rasa sesak yang ia rasakan di dada kembali muncul, terlalu menyakitkan untuk dirinya pendam sendiri.

*

Anya menangis meraung-raung. Pesan yang ia layangkan pada Sean tak kunjung mendapatkan balasan, bahkan ponsel lelaki itu terakhir dilihat pukul 1 dini hari, tepat saat lelaki itu menyusulnya ke Sarcasm.

Ia yang sudah siap dengan seragam sekolahnya, berharap Sean menjemputnya kemudian pergi ke sekolah seperti pagi-pagi sebelumnya, dan melupakan masalah semalam.

Tapi apa? Sean tidak menjemputnya!

Lelaki itu tidak menunjukkan batang hidungnya!

Lelaki itu terlalu pengecut! Ia hanya meninggalkan obat dan setangkai bunga dengan surat yang melingkar ditangkainya.

I'm sorry for hurting you.
- Sean.

Ia meremas kertas itu, tangisannya tak membuahkan sebuah kereda-an yang ia idamkan. Justru tangisan itu semakin kencang.

Ia benci Sean yang meminta maaf! Disini jelas Anya yang salah.

Bukan perkara menentang aturan Sean, tapi gadis itu melukai Sean. Semalam ia hampir bercinta dengan seorang lelaki bar, dalam keadaan mabuknya.

Sean tidak seharusnya meminta maaf.

Rasa pusing kembali menyerangnya hebat, ia sangat ingin membenturkan kepalanya ke dinding kamarnya, namun jelas ia masih waras untuk tidak melakukan itu.

Anya menjambak rambutnya sendiri, berusaha mengatasi rasa pusing itu hingga perlahan tertidur dengan kondisi mata yang sembab.

*

Setidaknya hanya tidur-menangis-tidur-menangis yang dilakukan Anya selama seharian. Sean belum mengaktifkan ponselnya, membuatnya sangat merasa bersalah.

"Dega..." sapanya ketika sambungan telepon terhubung, dengan temannya yang menurutnya lumayan dekat dengan Sean lantaran keduanya tergabung dalam satu organisasi.

"Nya? Suara lo serak banget, lo gapapa?" tanya Dega, ia sedikit kelabakan mendengar suara itu.

Kabar gadis itu yang tidak masuk sekolah saja membuatnya khawatir setengah mampus. Sekarang ia malah lebih dibuat khawatir setelah mendengar suara Anya.

"Gapapa, Ga. Minta tolong banget kalo ketemu Sean di sekolah, bilang ke dia buat kerumah gue, ya, please.." Anya menghela napasnya lelah, ia sudah lelah menangis. Perempuan itu menggigit bibir bawahnya guna meredam tangisan selanjutnya yang ia prediksi akan keluar.

"Oke, tapi lo beneran gapapa 'kan? Kal—"

"Dega, please ya gue mohon sama lo, bilang ke Sean.."

"Iya, Nya, gue bilangin nanti pas—"

"Sekarang, Ga, please.."

"Iya-iya-iya, jangan nangis tolong, Anya."

"Iya, thank you, i love you lil bit, gue lebih sayang Sean jadi ngomong ke temen lo itu buat kesini."

Sean terkekeh mendengar tuturan perempuan itu, konsep i love you lil bit ini bagaimana? Wkwk.

"Iyaaaa, bawel. Dah ah, i love you too."

Dega lebih dulu mematikan sambungan telepon, sekarang Anya sedikit lega dari sebelumnya.

Berkali-kali ia mencium bunga mawar yang Sean berikan, wangi—seperti Sean.

Pikirannya kembali tertuju pada peristiwa semalam—masih teringat jelas dibenaknya bahwa Sean mengatakan bahwa ia tidak bisa diatur.

Setelah itu..

Lave?!

Temannya itu mengatakan apa pada Sean semalam? Mengumpat pada Sean, benar? Oh, fuck. Apa Sean sakit hati pada ucapan perempuan mabuk itu?

Ponselnya berdenting, sebuah pesan masuk dari Dega.

Dega
Sean gamau, gmn?

Anya bergetar membaca isi pesan itu. Sean? Tidak mau? Mengunjunginya?

Dadanya bergemuruh hebat, matanya kembali memanas, berkali-kali meyakinkan pesan yang ia baca dari Dega adalah kata-kata menyakitkan itu.

Anyalase
bujukin dia, Ga..

Dega
Tetep gamau, udh gw bujuk. Dia nyakitin lo, ya?

Anyalase
engga, gue yang nyakitin dia, Ga

Anyalase
kenapa gamau dtg?

Dega
Gatau dh, nanti gw bujuk lg ya, ntar kelas soalnya

Anyalase
okei, makasi yaaa

Anya mengusap kasar air mata yang masih keluar. Hidungnya merah, matanya membengkak, sungguh bukanlah Anya. Gadis itu lebih mirip zombie ketika melihat pantulan dirinya di cermin.

*

Besoknya, Anya pergi ke sekolah. Bukan—niatnya bukan untuk belajar, melainkan menemui Sean.

Ia sengaja membawa mobil seorang diri karena Sean masih tak kunjung menjemput dirinya. Jangankan menjemput, bertemu saja lelaki itu tidak ingin.

Tak memerlukan waktu lama, mobil yang ia kendarai sudah ia hentikan di parking area.

Anya sengaja mempercepat langkahnya, meletakkan tas dibangkunya. Tujuannya saat ini hanya dua, perpustakaan dan ruang OSIS.

Kekasihnya itu tidak akan jauh-jauh dari dua tempat itu.

"Anjing," belum sempat mengunjungi dua tempat tersebut, bel sekolah berbunyi memekakkkan telinga setiap orang, menandakan kelas pertama akan dimulai.

Dengan terpaksa, ia kembali ke kelasnya untuk mengikuti pelajaran. Karena ia tahu, Sean tidak akan menyukai kegiatan membolosnya.

***

Komen dulu kalo mau lanjut 😋👊

BACKSTREETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang