Bab 4 Nomer telepon

213 13 0
                                    

DOSEN ITU MANTANKU

Bab 4 Couple phone number

Tiana memicingkan mata, dari kejauhan ada laki-laki tampan yang sedang berjalan menuju gazebo.

"Dinda."

Deg,

"Suara itu," guman Sarah yang seketika berubah tegang.

"Maaf, Mas cari siapa ya? Di sini tidak ada yang namanya Dinda," ujar Tiana sesekali tukar pandang antara Alfian dan Sarah.

Sementara Sarah yang merasa dipanggil dengan sebutan lain hanya memberi kode dengan telunjuk pada Tiana sambil berbisik.

"Pak Mahesa."

Mata Tiana membola, pun juga Aldo yang tercengang merasa pacarnya sudah salah memberikan panggilan untuk dosennya.

"Ma...maaf Pak Mahesa. Kami belum kenal Bapak jadi tidak tahu kalau Bapak dosen baru." Aldo turun dari gazebo lalu membungkukkan badan memohon maaf untuk Tiana.

"Ada yang bisa saya bantu, Pak. Bapak tadi mencari mahasiswi bernama Din..."

"Saya mencarinya." Telunjuk Alfian mengarah ke Sarah membuat gadis itu mendadak canggung.

"Oh, namanya Sarah Maharani Putri, Pak."

"Ya, maksud saya itu. Tadi saya salah sebut nama."
Aldo spontan mengernyitkan dahi mendengar respon dosennya.
Sarah hanya mampu meneguk ludahnya sendiri. Berusaha merangkai kata supaya bisa berucap normal.

"Hmm, ada apa ya, Pak?" Sarah berusaha berbicara setenang mungkin, meskipun dalam hatinya gugup tak terkira. Jantungnya berpacu kencang.

"Saya sudah menerima proposal PI kamu dari Pak Pram. Ada yang perlu diperbaiki program kerjanya."

"Tapi, Pak? Proposalnya sudah masuk ke MTG."

"Nggak masalah, ayo ikut ke ruang saya!"

"Pak. Pak Mahesa. Tuh kan, ihhh ngeselin banget."

Tiana dan Aldo saling pandang keheranan.

"Ra, itu Pak Mahesa?"

Sarah menatap horor sahabatnya yang terpana sosok mantannya.

"Hei, Al. Tiana tuh ditutup matanya biar nggak kecantol Pak dosen nyebelin."

Aldo segera menutup mata Tiana dengan telapak tangannya membuat si empunya berteriak. Sarah pun terbahak dibuatnya.

"Dah punya pasangan juga masih nggak kedip lihat yang adem-adem," cebik Sarah.

"Astaga, Ra. Hati-hati kalau Pak Mahesa masih single bakalan terjebak pesonanya kamu!"

"Ish, enggak."

"Udah, sana, Ra. Ditunggu Pak Mahesa lho!"

"Iya-iya." Sarah sudah berdiri dan menghentakkan kakinya beberapa kali, lalu berjalan dengan malas menuju ruang dosennya kembali.

Sarah mengetuk pintu dan dipersilakan masuk oleh pemilik ruangan. Jantungnya berdesir, beberapa kali menoleh kanan kiri nyatanya hanya ada sosok laki-laki yang sudah duduk menatap tajam ke arahnya. Berusaha memasang wajah santai, Sarah menarik napas panjang dan mendaratkan tubuhnya di kursi tepat di depan dosennya.

"Maaf, Pak Mahesa. Ada apa dengan proposal saya?"

"Proposalmu cukup menarik, tetapi menurut saya ada yang perlu diperbaiki."

Sarah menatap lawan bicaranya menuntut penjelasan lebih detail lagi. Namun yang terjadi justru Alfian menatap tajam ke arahnya, menyelami manik matanya membuat Sarah menegakkan posisi duduknya. Memilih menunduk, Sarah tidak tahan ditatap intens mantannya.

Suara deheman dari Alfian membuat Sarah tersentak. Nyalinya yang sudah disiapkan sepanjang langkah menuju ruangan Alfian pun kini menciut.

Ya, dia dosenku bukan mantanku. Aku harus menuruti apa maunya atau dia akan mempersulitku. Dahi Sarah mengernyit seiring pikirannya yang berusaha meyakinkan diri.

"Kamu perlu perbaiki bagian ini, program jangka panjang." Alfian menunjukkan halaman pada proposal hingga membuat Sarah mau tak mau membawa posisinya sedikit maju mendekat ke arah dosennya.

Tangannya sudah memegang proposalnya sendiri sembari mengamati kalimat demi kalimat yang dia buat.

"Pikirkan bahwa program yang ini tidak hanya menguntungkan diri sendiri, tetapi juga memberikan kontribusi bagi instansi tempat magang, Ra!"

Sejenak Sarah tertegun, pikirannya terlempar ke masa lalu. Saat dirinya mau menghadapi ujian kelulusan SMA, Alfian mengajarinya belajar dengan telaten.

Senyum tersungging di bibirnya sebelum lamunannya dibuyarkan oleh suara deheman.

"Jadi gimana, Dinda?"

Wajah Sarah tiba-tiba memanas, sudah bisa dipastikan pipinya merona karena panggilan itu.

"Pak....?"

"Oya, maaf. Gimana, Ra?"

"Baik, Pak. Saya usahakan revisi setelah ada hasil dari MTG. Hari ini saya kesana mengambil keputusan diterima atau tidak magangnya."

"Oke, nanti kabari saya kalau sudah ada hasilnya. Oya, sudah punya nomer HP saya?"

"Maaf, saya belum punya, Pak. Nomernya berapa?" Sarah berucap pelan seakan merasa bersalah telah menghilangkan semua jejak Alfian.

"Nomer saya masih sama."

Glek, Sarah semakin dibuat canggung. Memilih menanyakan kembali, Sarah membuka layar ponselnya.

"Berapa, Pak?"

"08...11. Kamu coba miscall biar saya simpan nomernya."

Ternyata nomernya masih sama, nomer yang mereka beli bareng dengan beda dua digit belakang. Punya Sarah digit belakangnya 22.

"Baik, Pak," ucap terbata Sarah. Dia mengira Alfian pasti sudah tidak menyimpan nomernya.

Tut,tut.

Terdengar nada dering di ponsel Alfian. Sarah melihat ke arah lawan bicaranya yang menunjukkan layar ponsel tertera nama "Dinda".

Memilih memalingkan wajah ke arah lain, Sarah berusaha menata hatinya yang kalang kabut membuat pikirannya sedetik terlempar ke masa lalu.

"Ternyata nomermu tidak berubah, Ra."

"Hmm, Pak Mahesa kalau sudah tidak ada masukan lagi, saya pa...."

Drrt,drrt.

Tangan kanan Alfian memberi tanda memotong ucapan Sarah.

"Halo, Chika Sayang. Ada apa?"

Glek, Sarah hanya mampu menelan ludah mendengar pembicaraan yang tak sengaja masuk ke telinganya karena Alfian mengangkat panggilan di depannya.

"Oke nanti selesai urusan di kampus ayah siap meluncur kesana. Di kedai gelato biasanya kan? Chika minta diantar mama dulu ya!"

Selesai menutup panggilan dengan ucapan salam, Alfian kaget melihat ekspresi tak terbaca dari Sarah. Mahasiswi yang merupakan mantannya masih terbengong. Parasnya yang rupawan tidak berubah sedikitpun, justru sekarang lebih terawat. Sorot mata tajamnya memperlihatkan kepercayaan diri yang tinggi hingga berani menolak pinangannya, pikir Alfian. Sampai saat ini Alfian masih bertanya-tanya alasan apa yang membuat Sarah memutuskan kesepakatan yang telah dibuat keduanya.

"Pak Ma...he...sa, saya pa...mit dulu ma...u ke MTG." Sarah tak mampu berucap normal seakan tenggorokannya tercekat.

"Oya, hati-hati, Ra!"

Gegas Sarah keluar ruangan Alfian seraya menepuk beberapa kali dadanya. Ada rasa nyeri yang tiba-tiba menyeruak di dadanya hanya karena mendengar obrolan Alfian dengan kata ayah, Chika, mama. Mereka pasti keluarga kecil bahagia.

"Ya Rabb, Mas Alfian ternyata sudah menikah. Kenapa aku tidak berpikir sejauh itu"

Pastinya seru kisah cinta segitiga Alfian, Devan dan Sarah.

Dosen Itu MantankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang