Di suatu minggu pagi yang temaram, ketika matahari nampak ragu meninggi dan menyinari ardi yang menjadi satu satunya planet yang membutuhkan pancaran sinarnya, dengan seorang tuan asal tanah Bandung yang pagi pagi sekali sudah terduduk didepan komputer jinjing, ditemani segelas cappucino dan sepiring roti beraroma manis.
Cielah bahasanya ruwet bener lo, Tan.
Disudut cafe yang menjadi tempat menugasnya sejak zaman mahasiswa baru. Ettan menggarap tugasnya yang belum juga rampung.
Sedikit mendongak, memperhatikan kursi kursi dibalik komputer yang menjadi batas antara Ettan dan segerombol muda mudi yang berpasang-pasangan. Cafe itu tampak ramai, semua kursi terisi penuh, dan hanya Ettan yang duduk sendirian. Pemuda itu menghela napas, merasa menjadi satu satunya manusia paling menyedihkan antara mereka semua. Padahal Ettan punya teman, meski tak banyak tapi karna ini hari minggu tidak ada satupun dari mereka yang mau Ettan ajak menepi untuk mengerjakan tugasnya.
Cowok itu menelan kecewanya dan kembali memfokuskan diri pada layar yang kini menyajikan hasil pemikirannya sejak seminggu lalu.
Namun perhatiannya kembali direnggut kala ornamen bel yang terbuat dari bambu berbunyi, menandakan seseorang baru saja memasuki cafe. Dan, dengan cukup membaui aroma khas segar pine yang terbawa angin serta rambut hitam digerai sepanjang dan sekelam malam. Ettan langsung mengenali figur tersebut.
"Giselle," gumamnya setengah tak percaya. Kenapa kebetulan selalu mempertemukan Ettan dan Giselle? Kalau seperti ini bolehkah Ettan berpikir kalau dia dan puan adiwarna itu memang ditakdirkan bersama.
"Penuh ya, mbak?" gadis itu bertanya pada seorang perempuan yang berdiri dibalik meja meja.
"Sebentar ya kak." Perempuan dengan apron cokelat melongokkan leher guna bisa melihat keseluruhan isi cafe yang tidak terlalu besar itu, dan saat matanya menangkap satu kursi kosong di sudut cafe, jemari jempolnya langsung menunjuk tempat yang dimaksudkan , kursi di meja Ettan, "Disana, kak."
Giselle mengikuti arah tunjuk si apron cokelat kemudian mengangguk, setelah menyebutkan pesanan dan meminta untuk diantarkan ke mejanya dia berlalu menuju meja Ettan.
"Hai, boleh duduk disini?"
Ettan dibuat takjub. Sebenarnya, sejak si mbak mbak apron cokelat tadi, menunjuk mejanya Ettan sudah lupa bagaimana cara menata napas dan mengatur kinerja jantungnya yang semakin menggila.
Maka dengan anggunkan ringan dan senyum canggung dipaksakan Ettan mengangguk.
"Makasih."
Ettan mengangguk lagi. Bukannya membangun tembok dengan layar laptop sebagai pemisah antara mereka tapi ya Ettan tidak punya cukup nyali menatap Giselle dalam jarak sedekat itu. Melihat dari jauh saja Ettan bisa salah tingkah apalagi dekat begini, mengigil sekujur tubuh Ettan.
Ada jeda yang mereka biarkan merangkak disana. Selama itu, keduanya larut dalam aktivitasnya masing masing. Ah atau mungkin hanya Giselle sebab Ettan seperti tidak punya pekerjaan lain selain menata kalimat sapaan.
"Kamu Ettan bukan, sih? Yang nolongin aku pas hari pertama masuk kuliah?"
Astkjdghakdjdbzhsns!
Ettan melongo. Otaknya yang sempat bekerja sedetik lalu langsung dibuat beku beserta ujung lidahnya. Di balik layar laptopnya Ettan memejam.
"Seganteng itukah gue sampe Giselle masih ingat sama gue?"
Bisik batinnya yang mulai tidak tahu diri ketika mendapatkan angin segar.
"I-iya, gue Ettan."
"Hah, akhirnya setelah dua tahun aku bisa ketemu lagi sama kamu!"
Ettan makin bisu. Tapi kepalanya langsung menjadi berisik, seperti cacing cacing yang menyebarkan kegoblokan selama ini sedang menggelar orkes indie dan menyanyikan lagu lagu bernada mayor yang riang gembira.
KAMU SEDANG MEMBACA
Young And Free (NCT DREAM 00 LINE) Revisi Ver
RandomWarning keselek!! Buat kamu, penikmat luka yang diam diam merasa lelah dan ingin rasanya berhenti. Sini dulu, mangkal sejenak mari kita saling bertukar cerita haru biru bersama kopi pait buatan Mas Naka, gorengan bakwan hasil eksperimen Ettan, hila...