Monumen Pilu

213 9 0
                                    

Nuansa hening yang tak terdengar masuk disela-sela telingaku, dahulu terdengar sangat berisik sehingga mengganggu. Namun sepertinya kini aku merindukan riak suara itu, terkadang aku mencari-cari sebuah keramaian hanya untuk sekedar memberi nutrisi kepada telinga ku untuk mendengar hal-hal bodoh yang membuatku tersenyum.

Sudahlah, ini sudah berakhir.

Apa yang aku anggap tempat hiburan sudah menjadi usang bagai kota mati yang telah tercemar, ku lihat garis katulistiwa kini telah berputar arah.

Aku terduduk dan terdiam di sebuah kursi yang berdebu dengan lampu yang redup, tidak ada kopi disini, bahkan air putih saja tidak aku dapatkan.

Tangis malam yang tak terhenti
Telah meninggalkan berjuta embun kala pagi,
Romansa cinta yang dulu ku anggap suci
Perlahan mulai menikam dan mengkhianati,

Apakah ini yang di sebut kiamat?
Oh tidak, aku berharap jika ini hanyalah sebuah cobaan
Apakah ini yang disebut sebagai takdir?
Sebab tikaman rindu selalu saja menusuk ke dalam nadir
Aku tak berdaya menerima ini
Ingin rasanya diriku menangis meratapi semua ini,

Apakah Alam mulai tak ingin bersahabat?
Sebab permusuhan mengakibatkan air mata yang bercucuran.

Kembalilah wahai Rindu,
Kepergianmu menciptakan Monumen Pilu.

Puisi Romantika KunoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang