بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمِ
ANTARA FOOD COMBINING DAN KEBIASAAN RASULULLAH ﷺ
Penjelasan Singkat tentang Perbedaan Ibadah dan Adat
Hukum asal ADAT (kebiasaan, ed.) itu BOLEH, sampai ada dalil yang MELARANGNYA. Sedangkan hukum asal IBADAH adalah HARAM sampai ada dalil yang MEMBOLEHKANNYA. Perlu diketahui, bahwa adat bisa menjadi ibadah, dan bukan bidah, ketika memenuhi salah satu dari dua syarat:
1. Dilakukan dengan niat dan tata cara yang benar
Sebagaimana yang diriwayatkan dari Sa’d bin Abi Waqqos radhiallahu ’anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا ، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فَمِ امْرَأَتِكَ
“Sesungguhnya engkau tidaklah menafkahkan suatu nafkah dalam rangka mengharap wajah Allah, melainkan engkau akan diberi pahala atasnya. Sampai pun sesuap makanan yang engkau masukan ke mulut istrimu.” [HR. Bukhari, no. 56]
Di sini disebutkan dengan “niat ikhlas mengharap pahala di sisi Allah”, barulah perbuatan yang asalnya bukan ibadah berbuah pahala.
2. Sebagai wasilah (perantara) dan mendukung amal saleh
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ لاَ يُصِيبُهُمْ ظَمَأٌ وَلاَ نَصَبٌ وَلاَ مَخْمَصَةٌ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَلاَ يَطَؤُونَ مَوْطِئاً يَغِيظُ الْكُفَّارَ وَلاَ يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَّيْلاً إِلاَّ كُتِبَ لَهُم بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ
“Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan, dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskan bagi mereka dengan yang demikian itu amal saleh.” [QS. At-Taubah:120]
Ayat ini menunjukkan bahwa wasilah (sarana) dan mendukung terwujudnya ketaatan dianggap sebagai ketaatan, dan bernilai pahala.
Catatan penting:
Perkara non-ibadah itu dijadikan sebagai sarana dan bukan tujuan. Jangan sampai keliru dengan menjadikan perkara non-ibadah tersebut sebagai tujuan itu sendiri. Tidak ada ibadah yang bentuknya adat atau kebiasaan yang statusnya mubah. Melakukan ibadah dengan perkara mubah termasuk perbuatan bid’ah.
Kehati-Hatian Menyandarkan Sesuatu Pada Nabi ﷺ
Kehati-hatian menyandarkan sesuatu pada Nabi ﷺ tidak terlepas dari benar tidaknya amalan yang dilakukan seorang hamba. Maka amalan yang dilakukan seorang hamba akan benar bila sesuai pada enam hal, yaitu:
• Harus benar dan sesuai dengan syariat dalam hal “Sebabnya”. Maka jika seseorang mensyariatkan suatu ibadah karena suatu sebab yang tidak ditetapkan oleh syariat, maka ibadah itu tidak diterima.
• Sesuai dalam hal “Jenis”nya.
• Sesuai dalam hal “Takarannya” atau “Ukurannya” atau “Jumlahnya”.
• Sesuai dalam hal “Tata Caranya”. Jika seseorang berpuasa dengan tata cara yang tidak pernah dilakukan Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya, maka puasanya tidak diterima.
• Sesuai dalam hal “Waktunya”.
• Sesuai dengan syariat dalam hal “Tempatnya’.
Jadikanlah enam kaidah ini sebagai barometer kehati-hatian dalam menyandarkan sesuatu pada Nabi ﷺ. Dan timbanglah setiap amal yang kita lakukan dengan keenam hal tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Note😉 My Learn 😊
RandomCatatan Sehari-hari yang menurut author penting dan berharga untuk dijadikan pelajaran dan pengalaman hidup Diambil dari beberapa sumber dan share beberapa link