*Ummu Rabiah, Potret Ibu Peduli Pendidikan Anak

5 0 0
                                    

*Ummu Rabiah, Potret Ibu Peduli Pendidikan Anak*

Malam itu Farrukh banyak bercerita kepada istrinya, mengenai pengalamannya di medan perang, mengenai tersebarnya desas-desus kematian dirinya. Namun Ummu Rabiah tak bisa menikmati cerita suaminya, pikirannya dipenuhi kekhawatiran tentang 30.000 dinar.

Seluruh penduduk Madinah tahu bahwa Ummu Rabiah sangat loyal ketika membayar guru-guru putranya. Dia benar-benar mensyukuri nikmat kecerdasan yang dianugerahkan Allah kepada putranya, dia senantiasa mendukung sepenuh hati minat putranya pada berbagai disiplin ilmu. Dia tak pernah berpikir dua kali untuk mengirim putranya kepada guru-guru terbaik, berapapun biayanya. Kini setelah tiga puluh tahun uang pemberian suaminya tak bersisa sepeser pun, bagaimana dia harus menjelaskan sesuatu yang hasilnya tidak kasat mata.

Lamunannya buyar ketika suaminya berseru dengan penuh semangat,

Aku membawa uang 4.000 dinar. Ambillah uang yang aku titipkan kepadamu dahulu. Kita kumpulkan lalu kita belikan kebun atau rumah, kita bisa hidup dari hasil sewanya selama sisa umur kita.

Ummu Rabiah pura-pura menyibukkan diri dengan pekerjaan dan tidak menanggapi, Farrukh pun mengulangi ucapannya,

Cepatlah, mana uang itu? Bawa kemari, kita satukan dengan uang yang kubawa.

Dia menjawab lirih,

Aku letakkan uang tersebut di tempat yang semestinya dan akan kuambil beberapa hari lagi insya Allah…

Suara adzan shubuh memotong perbincangan mereka. Farrukh pun bersiap, hari ini untuk pertama kalinya dia akan mengajak putranya ke masjid. Dalam konsep parenting Islami, berangkat bersama ke masjid dinilai menjadi momen yang paling merekatkan hubungan seorang ayah dengan putranya.

Di mana Rabiah?
Ummu Rabiah, Potret Ibu Peduli Pendidikan Anak

Dia telah mendahuluimu, dia berangkat ke masjid ketika adzan pertama, dan sepertinya kamu akan tertinggal jamaah

Benarlah, sesampainya di masjid, Farrukh mendapati imam sudah menyelesaikan shalatnya. Dia pun segera shalat, kemudian menuju ke makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mengucap shalawat atasnya, setelah itu mengambil tempat di Raudhah Muthahharah. Betapa rindunya Farrukh dengan tempat itu, dia pun shalat sunnah di situ kemudian berdoa.

Ketika hendak pulang, dia mendapati ruangan masjid telah penuh dengan orang-orang yang belajar. Mereka duduk melingkari syaikh hingga tak ada lagi tempat kosong. Karena terlalu padat, Farrukh tak bisa melihat wajah syaikh tersebut, namun dia bisa mendengar jelas apa yang disampaikan. Dia kagum dengan segala perkataan syaikh itu, juga pada kedalaman hafalannya, ketajaman ingatan, dan keluasan ilmunya, juga antusias hadirin yang untuk mendengarkannya.

Seusai majelis, Farrukh bertanya kepada orang di sampingnya.

Siapakah syaikh yang baru saja berceramah?

Orang tersebut terkejut mendengar pertanyaan Farrukh.

Apakah anda bukan orang Madinah?!

Saya penduduk Madinah.

Bagaimana mungkin ada orang Madinah yang tidak mengenal syaikh yang memberikan ceramah tadi?

Maaf saya sudah tiga puluh tahun meninggalkan kota ini dan baru kembali malam tadi.

Baiklah, tidak mengapa, akan saya jelaskan. Syaikh yang kita dengar ceramahnya tadi adalah adalah seorang tokoh ulama tabi’in, termasuk di antara ulama yang terpandang, dialah ahli hadis di Madinah, fuqaha, dan imam kami meski usianya masih sangat muda. Tidak tanggung-tanggung, majelisnya dihadiri oleh Malik bin Anas, Abu Hanifah an-Nu’man, Yahya bin Sa’id al-Anshari, Sufyan ats-Tsauri, Abdurrahman bin Amru al-Auza’i, Laits bin Sa’id dan yang lainnya.

Tetapi anda belum menyebutkan namanya kepada saya.

Namanya Rabiah, dia digelari ar-Ra’yi karena pendapatnya selalu bijak dan menentramkan hati. Dia dilahirkan tidak lama setelah ayahnya pergi berjihad, namun tadi sebelum shalat saya mendengar kabar bahwa tadi malam ayahnya telah kembali.

Farrukh tak kuasa membendung air matanya, dia segera berlari menuju rumahnya, banyak rasa yang tersirat dalam setiap tetes air matanya, haru, gembira, bangga, dan terpenting adalah syukur, dia bersyukur bahwa pilihannya untuk menitipkan keluarganya kepada Allah dan Rasul-Nya bukanlah pilihan yang salah.

Sementara di rumah, Ummu Rabiah masih cemas memikirkan jawaban untuk suaminya.

Referensi: Shuwar min Hayati at-Tabiin karya Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya
Penulis: Rusydan Abdul Hadi

JALINAN KELUARGA DAKWAH

  ════ ❁✿❁ ════

https://chat.whatsapp.com/8Qhp04CNHnM2FaAK1d8AHr

🌎Website:
www.keluargadakwah.com

📹 Youtube: JKD Channel

📱 FB Keluarga Dakwah Jakarta

☎ CP : 021-29479346

My Note😉 My Learn 😊Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang