Kabar Suho yang pergi keluar bersama wanita asing di Itaewon mulai menyebar di kalangan politikus dan masyarakat lewat surat kabar yang berhasil merilis foto kebersamaan kami. Untungnya, wajahku tidak terlihat disana, sehingga orang-orang masih menebak-nebak siapa aku.
Ayah sudah bolak-balik menelpon keluarga Suho, memastikan tidak ada rumor didalam hubunganku dan Suho hingga kami menikah nantinya. Sementara aku hanya duduk diam seperti boneka, mendengarkan obrolan Ayah dan keluarga Suho mengenai masa depan kami yang konyol.
"Nanti malam ada pesta untuk merayakan dimulainya kerja sama dengan Indonesia, kamu ikut Ayah."
Aku menatap Ayah bingung. "Kenapa aku harus ikut? Biasanya Ayah juga pergi sendiri."
"Ikut saja. Lagian kamu harus terbiasa untuk pesta ini ke depannya bersama Suho."
Mendadak aku menjadi kesal dengan arah pembicaraan ini dan memilih untuk pergi, meninggalkan Ayah yang terus meneriakiku, meminta kembali agar mau mendengarkan semua nasihatnya.
Aku tak ingin bertengkar dengan Ayah sejujurnya, bukan karena aku adalah anak baik dan penurut, aku hanya benci pertengkaran sejak perceraian Ayah dan Ibu dulu. Perselisihan kecil yang selalu mereka besar-besarkan, suara barang-barang pecah yang memekakkan telinga, serta bantingan pintu sebagai akhir percakapan ketika tak ada satupun yang mau mengalah.
Aku tak ingin ada disituasi seperti itu, diposisi Ibu yang terus meneriaki egonya dan Ayah yang tak mau mencoba melunak. Pada nyatanya, ini hanya soal komunikasi yang buruk dan membuat semuanya jadi sulit.
Pengalaman yang tak mengenakan itu akhirnya membuatku cenderung menghindari perselisihan konyol dengan Ayah, karena pada akhirnya hanya akan memberikan satu hasil pasti; aku harus tunduk pada semua keputusan Ayah. Bukan karena aku putrinya, tapi karena aku tak punya kekuatan untuk melawannya.
Aku menghela nafas panjang ketika aku tiba di teras rumah, bukan meratapi nasibku, tapi lebih pada bagaimana aku menetralkan emosi yang sejak tadi terus bergejolak didadaku. Aku memang punya temperamen yang buruk, persis seperti Ibu, makanya cukup sulit jika aku berdebat dengan Ayah dan hanya diam tanpa membalas, rasanya dadaku sakit karena menahan amarah.
"Nona?"
"Ya?" aku menengok pada Bibi Choi yang menatapku khawatir.
Diantara orang-orang di rumah ini, baik Ayah maupun pekerja disini, hanya Bibi Choi yang peduli padaku sejak Ibu pergi entah kemana. Dia yang merawatku sejak kecil dan tahu apa saja yang kurasakan, dia seakan berusaha memahamiku yang rumit ini.
"Mau jalan-jalan?"
"Aku akan jalan-jalan sendiri. Terima kasih."
Aku lantas pergi keluar rumah karena tidak ingin membuat Bibi Choi khawatir. Walaupun pada akhirnya aku hanya berjalan-jalan di sekitar komplek perumahan karena tidak punya tujuan mau kemana.
"Banyak yang bilang jalan-jalan bisa buat senang, tapi aku nggak senang sama sekali," gumamku sambil tetap berjalan entah kemana.
Aku tak perlu takut tersesat di komplek perumahanku yang memang agak bercabang ini, karena aku sudah hapal setiap liku jalanan disini. Ya, mengingat bagaimana dulu aku begitu suka berkeliling dengan sepeda bersama Ibu yang berjalan-jalan sore setiap harinya.
Bicara soal Ibu ... yah, aku merindukannya untuk beberapa saat lalu. Aku merindukan sosoknya yang hangat bagai matahari itu sebelum akhirnya berubah menjadi sedingin kutub, saat dia meninggalkanku bersama Ayah.
Kuakui, Ibu adalah sosok wanita kuat yang bertahan dengan pernikahannya yang tak mudah. Sama denganku dan Suho, beliau juga dijodohkan dengan Ayah yang usianya terpaut cukup jauh. Ibu yang saat itu baru saja menamatkan gelar sarjananya, harus mengubur impiannya untuk gelar magister saat aku lahir.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARJUNA [SVT] -Hiatus-
Fanfiction[Spin off of OCEAN] Misi mengawal Menteri Kelautan untuk menjalin kerjasama dengan Menteri Kelautan Korea Selatan, membuat Arjuna Pradiptanto bertemu dengan wanita kesepian yang hanya berusaha untuk hidup dengan lika-liku kehidupannya. Bertemu di pe...