KH01: Awal dari Kisah Kami

760 100 3
                                    

Aku memakan sarapanku tanpa mempedulikan Ayah yang terus berceloteh ditelpon dengan asistennya perihal pertemuan pentingnya dengan seorang menteri luar negeri. Aku benci setiap kali meja makan hanya diisi oleh obrolan-obrolan politik yang menyebalkan, itu sebabnya aku memilih tak peduli dan hanya fokus pada sarapanku.

Lahir sebagai seorang putri dari salah satu menteri Korea Selatan tak serta merta membuatku bangga akan posisi Ayahku. Bukan karena aku membencinya, tapi aku benci semua hal tentang politik yang selalu kuanggap kotor.

Keluargaku pernah berada dititik terendah dalam sosial masyarakat karena Ayah dituduh menjadi tersangka korupsi, sementara Ibu pergi tanpa jejak karena merasa malu dan mengirimkan Ayah surat cerai serta hak asuhku. Bahkan setelah terbukti bahwa Ayah tidak bersalah dan mulai merintis karirnya dari awal hingga berada diposisi seperti sekarang, Ibu tak pernah kembali.

"Nak, Ayah nggak bisa makan siang denganmu."

"Gapapa. Aku bisa sendiri," jawabku yang sudah terbiasa dengan ketidakhadirannya didalam keseharianku.

"Oke. Kalo gitu Ayah pergi yah? Lakukan apapun yang kamu mau hari ini, kamu nggak ada jadwal apa-apa kan?" dan hanya kujawab dengan anggukan, kemudian Ayah pergi setelah mencium keningku.

Aku menatap piring Ayah yang menyisahkan sarapannya, Ayah sepertinya hanya makan dua sendok tadi. Beliau memang selalu seperti itu, mementingkan pekerjaan daripada kesehatan sendiri.

"Nona, editor menelpon jika novel anda siap dirilis bulan ini," ujar Bibi Choi, asisten rumah tangga di rumahku.

"Bilang aja makasih ke editornya, Bi."

Jika Ayah hidup dalam gemerlap dunia politik, maka aku memilih untuk keluar dari sana. Aku memilih untuk mencintai buku-buku dan kata-kata yang mengandung emosi disetiap hurufnya. Ya, aku seorang novelis dengan nama samaran dan novel-novelku cukup populer. Walaupun begitu, aku memilih menyembunyikan identitas diriku, bahkan editorku saja harus melakukan kegiatan revisi dan menjalin hubungan denganku melalui email. Aku menghindari pertemuan tatap muka, fanmeeting, bertukar nomor telepon dengan editor, dan hanya memberikan identitasku pada pemimpin perusahaan publishing yang merupakan teman dekatku.

Alasanku menghindarinya hanya satu; aku harus menjaga nama baik Ayahku. Hidup di masyarakat yang seperti sekarang ini cukuplah sulit, apalagi jika kita berasal dari keluarga terpandang yang terus disoroti setiap detiknya. Aku tidak ingin duniaku menghancurkan dunia Ayah, maka biarlah aku yang bersembunyi dari dunia sementara Ayah memamerkan dirinya.

📚

Aku mengendarai mobilku menuju ke perpustakaan kota. Aku berniat menghabiskan waktuku disini untuk mencari referensi mengenai novelku berikutnya, walaupun aku sendiri belum memikirkan ingin mengambil tema dan cerita yang seperti apa.

Masuk ke perpustakaan, aku mengambil banyak buku dan duduk di sudut ruangan yang terhalangi banyak rak buku. Tempat favoritku adalah sudut ruangan yang tak pernah dilirik orang lain, selain tempatnya yang tenang, sudut ruangan juga paling pas untuk mencari inspirasi.

Percayalah, kesendirian dan kesunyian adalah dua hal yang dibutuhkan untuk berimajinasi sepuasnya.

Satu demi satu buku kubaca perlahan-lahan sambil mencatat beberapa plot yang terlintas didalam kepalaku mengenai kisah novelku selanjutnya. Sesekali aku juga menambahkan penjelasan singkat di beberapa plot agar tidak lupa soal jalan cerita yang hendak kubangun.

Handphoneku bergetar dan membuatku melirik layar benda pipih itu hingga nama sekertaris Ayah tertera disana. Aku segera mengangkatnya sambil sedikit berbisik karena takut menganggu ketenangan perpustakaan.

ARJUNA [SVT] -Hiatus-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang