Aku menyeret koperku dengan malas, sementara Suho mengenggam tanganku yang satunya bebas tanpa rasa canggung sama sekali. Tidak peduli berapa kali kutarik, Suho selalu berusaha memertahankan tanganku didalam genggamannya seakan itu harus sampai aku menyerah melawannya.
Suho berusaha membuat kami seakrab dan sedekat mungkin agar orangtua kami tak ada yang curiga soal kami yang tak cocok, atau bahkan memaksakan untuk cocok.
Dia melindungiku dengan cara yang aku benci, bersimpati dan hanya diam untuk menggantikanku melakukan apapun yang disuruh oleh para orang tua kolot itu. Jadi, aku tak akan sudi berterima kasih padanya.
Hari ini, kami harus pergi ke Jepang selama seminggu untuk menjual berbagai kegiatan kami berdua setelah berita pertunangan kami keluar, bahkan katanya kami harus mengukur gaun pernikahan setelah pulang darisana. Benar-benar gila.
Bandara dipenuhi kerumunan wartawan dan dibuat sesak oleh para bodyguard serta wartawan yang terus menghimpit aku dan Suho seakan ingin membuat kami kesulitan bernafas.
Siksaan itu selesai saat aku dan Suho berhasil masuk ke dalam pesawat dan wartawan sudah ditahan masuk oleh bodyguard maupun para petugas bandara. Dan setelahnya, dimulailah perjalanan yang menyiksa batinku ini, membayangkan bagaimana aku menghabiskan waktu bersama Suho saja sudah membuatku tak berminat untuk melakukan apapun.
Aku tak pernah suka apapun yang dipaksakan cocok, seperti aku dan Suho.
Pada akhirnya, aku hanya membaca buku dengan bosan. Mengabaikan Suho disampingku yang fokus pada Ipad-nya entah sedang mengerjakan apa selama penerbangan berlangsung.
"Apa kau habis menangis?" tanya Suho.
"Kenapa? Kamu mau melapor ke Ayahku atau ke Ibumu?"
"Apa mau membatalkan pernikahan kita saja?"
Aku menatap Suho sinis, berpikir kenapa dia begitu mudah melontarkan kalimat itu begitu saja. Apa dia sedang mencari jati dirinya sekarang? Berusaha jadi anak pembangkang?
"Pernikahan bukanlah permainan," ketusku.
"Maka hatimu juga bukan, iya kan?"
"Sejak kapan kamu peduli?"
Suho menatapku lama, namun dia akhirnya hanya kembali pada Ipad-nya, menggantungkanku dengan kepastian akan kepeduliannya terhadap perasaanku yang seakan tak berharga itu. Aku pun tak sudi berharap dan bergantung pada jawabannya yang selalu menggantung itu seakan dia tak bisa memberiku kepastian apapun, sehingga aku kembali pada bukuku hingga pesawat kami mendarat di Jepang.
Aku dan Suho tak banyak bicara selama perjalanan yang seharusnya jadi romantis ini karena aku yang menarik diri dan Suho yang tak ingin mengangguku. Bahkan belum genap sehari kami di Jepang, namun aku sudah merasa sangat tidak nyaman, terlebih dengan kehadiran Ibu Suho yang entah bagaimana tiba di hotel yang kami akan tinggali selama seminggu ke depan.
"Ibu?" panggil Suho dengan kebingungan dan menghampiri Ibunya.
"Pesawat kalian tiba lebih lambat dari jadwal?"
"Iya, Bu. Ada apa sampai Ibu kemari? Kupikir ini akan jadi liburan kami berdua."
Ibu Suho kemudian menatapku dan menghela nafas layaknya kecewa, seakan-akan kehadiranku adalah hal yang tak diinginkannya. Beliau kemudian mendekatiku dan menatapku tajam.
"Bagaimana bisa kamu nggak menyapaku?"
"Ibu, jangan begitu," tegur Suho dan bersiap menamengi diriku jika Ibunya menyemprotku dengan kalimat-kalimat pedasnya. "Kami lelah, jangan ganggu kami."
"Bagaimana bisa kamu membela wanita ini dan bukan Ibumu, Cha Suho?"
"Ibu, tolonglah," ujar Suho.
"Halo, Bibi," sapaku. "Apa sudah cukup?" tanyaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARJUNA [SVT] -Hiatus-
Fanfiction[Spin off of OCEAN] Misi mengawal Menteri Kelautan untuk menjalin kerjasama dengan Menteri Kelautan Korea Selatan, membuat Arjuna Pradiptanto bertemu dengan wanita kesepian yang hanya berusaha untuk hidup dengan lika-liku kehidupannya. Bertemu di pe...