Hal terakhir yang kurasakan adalah rasa sakit dan perih yang menjalari diriku lewat luka yang kutorehkan pada nadiku dengan cukup dalam, sebelum akhirnya aku merasakan rasa kebas dan sedikit nyeri pada tempat yang sama. Binar mataku terasa kabur ketika aku melihat tempat asing dengan suasana yang serba putih dan bau antiseptik yang menyeruak masuk ke dalam indra penciumanku begitu kuat.
"Nona Kim?"
Aku mendengar suara yang kukenali, suara pria jenaka yang seringkali lihat lemahnya diriku dan mau pinjamkan punggungnya yang lebar dan tulikan telinganya untuk sembunyikan tangisku beberapa waktu lalu.
Sayangnya suara pria jenaka itu tak lagi semenyenangkan hari-hari biasanya, terdengar begitu khawatir.
"Nona Kim, dengar saya?"
Aku terlalu lemah untuk membuka mulutku, bahkan menganggukkan kepala pun rasanya aku tak bisa, sehingga aku hanya bisa meliriknya dengan ekor mataku yang sayu. Kini aku bisa melihat bagaimana dia mengekspresikan kekhawatirannya dengan jelas, padahal harusnya dia berwajah kaku dan datar saja seolah-olah hanya ditugaskan untuk menjagaku seperti para pengawal sebelumnya.
"Ini saya, Letda Juna," katanya lagi.
Aku tahu namanya dengan jelas,
si pemilik nama yang wajahnya selalu berseri setiap bertemu denganku, wajah yang selalu membuatku iri karena aku tak akan pernah bisa memiliki wajah seperti itu. Wajahnya orang hidup."Nona Kim, saya panggilan dokter aja yah?"
"Nggak usah," jawabku dengan susah payah. "Lagian saya masih hidup kan?"
Hening itu mengisi jarak antara aku dan Letda Juna, pria itu terdiam cukup lama, seperti tidak tahu harus bereaksi seperti apa pada setiap kalimatku. Lagipula, kenapa juga dia harus repot-repot untuk menghiburku yang sudah pasti tidak akan mempan? Hubungannya denganku bahkan hanya sekedar putri Menteri Kelautan Korea Selatan dan tentara Indonesia yang sudah jelas tidak ada sangkut pautnya sama sekali.
"Nona Kim, tolong jangan sakiti diri sendiri lagi," ujarnya sambil kurasakan bagaimana terpaan hangat menyentuh bagian nadiku yang dililit perban itu, "jika lelah ... tidurlah."
Tangannya yang besar itu menyapu kedua mataku, menutupinya dari terangnya lampu ruangan. "Jika memang semua kekhawatiran Nona ada di rumah itu, maka pergilah."
Maksudnya rumah itu adalah rumah singgahku disini kan? Maksudnya semua kekhawatiranku itu adalah Ayah dan semua hal yang dilakukannya untuk mengendalikan hidupku kan?
Letda Juna, kenapa hanya kamu yang coba mengerti?"Saya ini nggak punya tujuan sama sekali, mau pergi kemanapun, apa bedanya?" lirihku tanpa sadar air mataku menetes lagi dan tangan besar itu tidak berusaha menghapusnya, namun tetap membiarkannya tumpah begitu saja dengan masih tetap menutup kedua mataku. "Gelap ... saya nggak bisa lihat apa-apa. Letda Juna, saya takut."
Isakanku tertahan dan tangan yang besar itu tak kunjung terangkat untuk setidaknya melihat bagaimana ekspresiku saat ini. Lagi-lagi, Letda Juna menyembunyikan semua tangisku, kali ini lewat telapak tangannya yang besar yang kasar itu.
"Gapapa, Nona. Jangan takut, saya disini ... setidaknya sampai Nona tertidur dan nggak khawatir lagi."
📚
Aku terbangun untuk kedua kalinya, kali ini yang menyambutku adalah Suho, sedangkan Letda Juna tak kutemukan keberadaannya. Suho membantuku bangun dan mengompres kedua mataku dengan pack kompres yang entah darimana dia dapatkan itu.
"Kenapa tiba-tiba kamu melukai dirimu hm?"
"Dari banyaknya pertanyaan, cuma itu yang bisa kamu tanyakan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ARJUNA [SVT] -Hiatus-
Fanfiction[Spin off of OCEAN] Misi mengawal Menteri Kelautan untuk menjalin kerjasama dengan Menteri Kelautan Korea Selatan, membuat Arjuna Pradiptanto bertemu dengan wanita kesepian yang hanya berusaha untuk hidup dengan lika-liku kehidupannya. Bertemu di pe...