KH11: Semua Tentangmu Ternyata Begitu Indah

101 20 0
                                    

"Jangan ulangi lagi."

Ayah bicara tanpa menatapku dan fokus pada ikatan dasinya, sementara aku hanya duduk diam dengan memangku laptop ditanganku tanpa peduli akan kehadirannya.

"Dengar Ayah atau nggak?"

"Dengar ataupun nggak, bedanya apa? Ujung-ujungnya kan aku cuma disuruh," balasku dengan acuh.

"Apa begini sikapmu pada Ayah?"

"Apa begini sikap Ayah padaku?"

Kudengar helaan nafas yang terdengar lelah itu, sebelum akhirnya langkah kaki terdengar mendekat kearahku hingga sosok Ayah yang duduk dihadapanku dan menatapku dalam.

"Bersikap baiklah pada keluarga Suho."

"Apa Ayah mendengar keluhan dari Ibu Suho?" tanyaku sambil menatap Ayah. "Alih-alih Ayah Suho, sepertinya Ibunya jauh lebih berkuasa dalam urusan rumah tangga, buktinya Ayah langsung menceramahiku seperti ini, pasti Ibu Suho mengeluh kan? Apa kira-kira setelah aku menikah dengan Suho, aku bisa berkuasa seperti itu dalam urusan rumah tanggaku?"

Aku sudah memperhatikannya sejak awal, bahwa Ayah Suho, Menteri Pertahanan Cha Hakmin, sama sekali tidak berdaya dihadapan istrinya. Pria paruh baya itu jauh lebih penurut dan hanya mengiyakan saja apa yang istrinya katakan serta lakukan. Bahkan ketika aku diomeli dihadapannya pun, pria itu hanya mampu mendengarkan tanpa berbuat apa-apa, sekalipun aku tidak berharap dibela, tapi bukankah harusnya dia mampu mengendalikan istrinya yang tukang marah dan perfeksionis itu di tempat umum?

"Tutup mulut dan jaga cara bicaramu saat membahas soal calon mertuamu! Kamu harus menghormati mereka," tegur Ayah.

"Aku menghormati orang yang memang ingin aku hormati dan pantas untuk itu," balasku sambil menatap Ayah malas, "apa menurut Ayah, calon besan Ayah itu pantas untuk kuhormati?"

Ayah lagi-lagi hanya mampu menghela nafas panjang, tentu saja dia sudah bosan dan pastinya lelah menghadapi sikap pembangkangku yang akhir-akhir ini jauh lebih parah dari sebelumnya. Namun, aku juga punya keinginanku sendiri, jika pada akhirnya aku harus menuruti Ayah dengan menikah, maka setidaknya Ayah juga harus setidaknya memenuhi satu keinginanku. Jangan paksa aku untuk jadi boneka.

"Luka ditanganmu itu," ujar Ayah sambil melirik tanganku yang masih diperban, "apa bekasnya akan hilang?"

Aku terkekeh, benar-benar miris dengan cara pria paruh baya dihadapanku ini melihat diriku. "Berbekas atau nggak juga memang apa peduli Ayah? Aku yang merasakan sakitnya. Oh ... takut reaksi publik jadi buruk? Memang itu yang kumau."

"Hentikan omong kosongmu!" Ayah berteriak dan memukul meja, menatapku dengan marah serta dada yang naik turun dengan cepat karena dipenuhi emosi.

"Pernikahan politik membawa akhir yang tidak bahagia. Judul berita itu tampak menarik," balasku acuh kemudian menurutp laptopku dan berdiri, "kebetulan aku harus pergi untuk memasang wajahku di publik. Kencanku akan berantakan kalau bertengkar dengan Ayah sekarang."

Aku meninggalkan rumah setelahnya dan masuk ke dalam mobil Suho yang baru saja memasuki pekarangan rumahku. Aku memintanya untuk langsung pergi tanpa perlu berlama-lama menyapa Ayah, untungnya Suho juga tidak protes dan melakukan apa yang aku mau.

Sejujurnya, aku tidak punya tujuan, begitu juga dengan Suho. Kami hanya menuruti keinginan para orang tua untuk pergi berkencan bersama sebelum pre wedding photoshoot yang akan dilaksanakan dalam beberapa hari lagi, dibarengi dengan kegiatanku untuk menemani Ayah memantau proyeknya dan kegiatan Suho untuk mulai mengambil alih perusahaan Ibunya.

Kami saling diam di mobil dan hanya mendengarkan radio mobil yang terus berceloteh tanpa henti mengenai pagi yang cerah. Setelah kupikirkan lagi, ternyata aku dan Suho sama-sama tidak tahu apa-apa satu sama lain, terbukti dari Suho yang tiba-tiba berhenti untuk membeli kopi panas di salah satu minimarket dan menawariku, padahal aku sebenarnya tidak bisa minum kopi atau aku yang berakhir memakan dua roti kare karena ternyata Suho tidak menyukainya.

ARJUNA [SVT] -Hiatus-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang