KH08: Baru Kurasakan Betapa Hangatnya Itu

97 21 3
                                    

Selama di Provinsi Gangwon-do, aku hanya pergi menemani Ayah dalam beberapa kali kesempatan dan sisanya menetap di rumah singgah yang disediakan seharian. Makan, tidur, mengerjakan novel, dan diulang lagi.

Sepertinya aku sudah disini selama hampir seminggu dan belum diizinkan pulang karena jika aku di Seoul sendirian, besar kemungkinan tidak ada yang menjagaku disana dari wartawan. Kehidupanku masih disorot media dan masyarakat, itu sebabnya aku tidak akan bisa sebebas dulu. Sama halnya dengan Suho, dia juga sibuk membuat citra disana-sini dan terus disorot media.

"Suho akan datang malam ini," ujar Ayah yang baru saja bergabung denganku dimeja makan untuk makan malam.

"Untuk apa?" tanyaku sambil memakan makan malamku. "Apa untuk menjual kehidupanku dan dia ke media?"

"Berhentilah keras kepala," desah Ayah sambil duduk diseberangku dan mulai memakan makan malamnya.

Aku diam seperkian detik sebelum akhirnya membanting sumpit yang kugunakan untuk makan dan seperkian detik setelahnya aku menepis semua lauk dihadapanku hingga berserakan di lantai.

"Berhentilah keras kepala...?" tanyaku sambil menatap Ayah. "Apa menjualku saja nggak cukup, Ayah?"

"Ini untukmu--"

"Apanya?" potongku. "Apanya yang untukku? Tidakkah ini hanya untuk kepentingan Ayah? Sekarang aku mengerti kenapa Ibu memilih pergi dari Ayah--"

"Jaga bicaramu!"

"Karena Ayah nggak ada bedanya dengan keluarga Ayah yang bajingan itu," lanjutku sebelum akhirnya pergi dari ruang makan sambil terus mendengar teriakan Ayah, tapi aku memilih nggak peduli.

Aku masuk ke kamarku dan mengatur nafasku karena emosi yang menggebu-gebu didada, rasanya tidak nyaman. Aku mau pergi dan menghilang saja rasanya.

Seberapa keras aku mencoba rasanya aku seperti tidak punya kuasa. Ayah tetap pada prinsipnya dan aku tak bisa melawannya, walau begitu rasa lelahku kian menumpuk.

Rasa lelah karena merasa perlawananku sia-sia, rasa lelah karena merasa aku hanya sendirian, dan rasa lelah karena merasa tak ada satupun yang mengerti aku. Semuanya melelahkan.

Tanpa sadar aku terisak, rasanya perih saat aku menyadari bahwa aku benar-benar tidak berdaya. Aku kelelahan dan kesepian, tapi dunia seakan terus memojokkanku hingga ke tepian. Aku takut kehilangan diriku sendiri, pijakanku sendiri.

Benarkah aku bisa bertahan untuk hari-hari berikutnya?

DUGHH!

Aku terperajat ketika sebuah bola masuk ke dalam kamarku melalui balkon kamar yang memang dibuka sejak tadi, sengaja agar kamarku memiliki sirkulasi pergantian udara. Aku mengambil bola tersebut dan berjalan menuju balkon kamar, melihat ke bawah siapa yang bermain bola malam-malam begini.

Sekumpulan tentara tampak berdiskusi dan beberapa diantara menggeleng dengan ekspresi takut, beberapa diantaranya menunjuk-nunjuk balkon kamarku, sepertinya mereka sedang saling menyalahkan satu sama lain dan berniat menumbalkan salah satu diantara mereka untuk datang mengambil bola.

Aku hendak melemparkan bola tersebut dan kembali ke kamar seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan para tentara itu bisa kembali bermain, tapi mataku menangkap sosok Letda Juna yang juga menatap kearahku. Sebuah senyum lebar menghiasi wajahnya yang sebelumnya berekspresi canggung, kemudian kakinya mengambil beberapa langkah untuk lebih dekat dengan balkon.

"Nona Kim! Boleh lempar bolanya?" tanyanya.

"Kenapa bermain bola di malam hari?" tanyaku sambil memeluk bola yang ada ditanganku.

ARJUNA [SVT] -Hiatus-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang