Happy reading :)
***
"Wuih, mau ketemuan sama mantan aja milih tempatnya yang spesial gini. Apalah kalau sama aku, diajakin jalan-jalan aja jarang," nyinyirku saat memasuki sebuah restoran bernuansa taman yang dipilih Mas Ahim untuk bertemu dengan Mbak Danti.
"Hobi banget nyindir, ya?" kata Mas Ahim sambil terkekeh.
"Siapa yang nyindir? Kenyataannya gitu, kan?"
Entah kenapa aku kesal begitu tiba di tujuan. Tempatnya romantis banget. Makin kesal lagi ketika waitress memandu kami menuju sebuah meja yang di atasnya terdapat tulisan reserved. Dia bahkan pakai reservasi segala.
Tempat yang dipilih Mas Ahim terletak di tepi sungai kecil dengan rerimbunan pohon di sekelilingnya. Jarak antar meja cukup berjauhan. Cocok betul buat ngobrol berdua dengan mantan.
Yang paling menyebalkan adalah..., hanya ada dua kursi di setiap meja!
"Berarti aku duduk di mana, Mas?"
"Terserah kamu aja, Sar. Kan katamu kemarin, kamu cuma ngawasin dari jauh."
Iya juga, sih. Tapi..., mendadak aku nggak rela Mas Ahim dan Mbak Danti ngobrol berdua saja.
"Aku..., ya udah, aku di atas situ."
Buru-buru kutunjuk satu sudut yang cukup strategis, letaknya di teras atas yang terbuka. Sebuah meja kayu berbentuk segiempat dengan kaki meja terbuat dari besi. Dua kursi bernuansa sama siap kududuki. Sebagai pengaman terdapat pagar besi dihiasi tanaman hidup di atasnya. Tempat yang cukup strategis untuk menyembunyikan diri sekaligus mengawasi Mas Ahim dengan leluasa.
Jarak bangunannya sekitar empat meter dari tempat Mas Ahim duduk, dengan ketinggian sekitar tiga meter. Maka berdasarkan rumus phytagoras, jarakku dengan suamiku dan mantannya adalah di angka lima meter.
Ah, bukan sesuatu yang penting. Tetap saja aku tak akan bisa menguping, kan?
"Terus aku nanti bilang Danti nggak kalau kamu ada di sini juga?" tanya Mas Ahim sambil meraih tanganku. Digandengnya aku menuju ke tempat yang kutunjuk untuk menunggu.
"Terserah kamu aja. Bilang silakan, nggak juga monggo. Yang penting kamu jangan lupa bilang, kalau ini pertemuan dan komunikasi kamu yang terakhir sama Mbak Danti."
"Iya, iya. Nanti aku kasih tahu Danti kalau aku ke sini sama kamu."
Dia menanyaiku akan memesan makanan dan minuman apa. Aku menyerahkan pilihan menu padanya.
Pesanannya untukku datang hampir sepuluh menit kemudian. Saat waitress meletakkan secangkir hot choco-latte dan semangkuk churros, saat itulah kulihat Mbak Danti datang dan memosisikan diri di kursi yang jaraknya tak lebih dari satu meter dari Mas Ahim. Mereka bahkan tidak duduk berhadapan, tapi sama-sama menghadap ke sungai kecil dan membelakangi aku.
Kutarik napas panjang, kemudian mengembuskan kasar. Fixed. Aku cemburu!
Rasanya ingin kusamperin dan menghentikan obrolan mereka sekarang. Tapi aku tak mau mempermalukan diriku sendiri dan Mas Ahim. Toh aku sendiri yang dengan kesadaran penuh memberi izin. Huh.
Tak lama kemudian, kulihat bahu Mbak Danti berguncang naik turun. Aku tak tahu dia sedang curhat apa, yang jelas dia terisak-isak. Tapi aku cukup lega, sebab kulihat Mas Ahim bergeming di tempat duduknya. Hanya menyodorkan tisu saja. Tangannya tak ikut berperan serta, seperti memberi tepukan, usapan, atau malah pelukan. Ini sesuatu yang harus kusyukuri.
Hampir satu jam di sana. Churros sudah tandas tak bersisa. Hot choco-latte tinggal sisa seperempat cangkir, itu pun telah turun suhunya. Mataku masih terus memandangi mereka berdua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Dodol
General FictionSarah dan Ahim saling mengenal sejak kecil. Mereka dekat seperti kakak dan adik. Sering berantem mewarnai hari-hari keduanya saat bertemu. Setelah dewasa, orang tua keduanya menjodohkan mereka. Suka tidak suka, mau tidak mau, mereka harus hidup bers...