Happy reading :)
***
"Cantik banget Ibu Sarah Annisa."
Aku baru keluar dari kamar setelah berdandan lebih dari setengah jam. Kami hendak menghadiri pernikahan salah satu teman se-geng Mas Ahim saat SMA dan aku ingin tampil sedikit berbeda dari biasanya. Bukan apa-apa, cuma jaga-jaga saja, siapa tahu ketemu mantannya Mas Ahim waktu SMA. Aku nggak kenal siapa mereka. Maklum, aku cuma siswi semenjana. Sudah begitu, aku memang tak pernah suka mengurus sesuatu yang bukan urusanku, termasuk siapa saja pacar Mas Ahim waktu itu.
Dasar nggak jago dandan, sudah menyimak tutorial make up pun hasilnya masih kurang memuaskan. Tapi pujian Mas Ahim barusan membuat kepercayaan diriku meningkat tajam.
"Beneran cantik? Bukan basa-basi?" tanyaku, mencoba meyakinkan diri sekali lagi.
"Ish, beneran lah. Kamu tuh memang aslinya cantik, Sar. Mukamu mulus banget, nggak kenal jerawat dan semacamnya. Cuma polos aja, nggak bisa dandan. Makanya, sekalinya dandan, wuuu..., Cindy Fatikasari juga lewat."
Aku tergelak. Mas Ahim dari dulu standar cantiknya adalah Cindy Fatikasari waktu muda. Konon katanya, dia suka banget pada Mbak Cindy gara-gara waktu kecil sering melihat poster di tembok kamar tantenya. Mas Ahim kecil memang banyak menghabiskan waktu dengan tantenya —adik bungsu ibunya— di rumah mbah, sebab kedua orang tuanya sama-sama bekerja.
"Diupgrade lah, Mas. Cindy Fatikasari udah pantes kita panggil tante." Dia mencebik. Kayaknya Cindy Fatikasari sudah harga mati.
"Nggak perlu diupgrade. Kan udah ada Sarah Annisa."
"Halah, gombal." Gantian aku mencibirnya. Gantian dia yang tertawa.
Mas Ahim keluar rumah lebih dulu untuk menyiapkan mobil. Aku melihatnya dari belakang sambil tersenyum-senyum. Biarpun suka nyebelin, tapi dia ganteng. Apalagi kalau pakai batik dan berdandan rapi begitu. Hmm....
Buru-buru kuakhiri rasa banggaku dan bergegas menyusul Mas Ahim keluar. Mengunci pintu dan menutup pagar.
Sepanjang perjalanan menuju lokasi, kami berbincang ringan. Mas Ahim bercerita sedikit tentang temannya yang akan menikah, juga pertemanan mereka dengan yang lainnya.
Mas Ahim berteman dekat dengan lima orang lainnya yang dia sebut sebagai teman se-geng. Mereka berenam satu angkatan dan sama-sama aktivis sekolah di masanya.
Ada Hadian dan Yoseph yang pengurus OSIS. Yudha si Pradana Pramuka, yang ini aku kenal karena dulu aku anak Pramuka. Ada pula Aulia yang alim, si sekretaris rohis. Dua sisanya anak basket yaitu Mas Ahim dan Iwan, yang hari ini menggelar resepsi pernikahan.
"Ini anggota geng ketiga yang nikah, Sar."
Temannya yang bernama Hadian menikah muda, saat masih kuliah. Kata Mas Ahim, waktu itu keluarga istrinya akan pindah ke luar pulau. Anak gadisnya boleh melanjutkan kuliah di Jogja, asalkan ada yang menjaga, sebab jauh dari orang tua lebih rentan akan godaan dan fitnah. Hadian menangkap kode itu dan menikahi kekasihnya, si anak gadis itu.
"Yang nikah kedua aku, Sar, sekaligus yang paling ganteng."
"Iyaaa, percayaaa." Dia terbahak lagi.
"Iwan ini yang paling dekat sama aku, Sar, soalnya sama-sama anak basket. Dia juga teman dari SMP. Kamu sih nggak gaul, sama kakak kelas kok nggak ada yang tahu."
"Heh, aku tahu Mas Yudha, ya. Aku kan dulu anak Pramuka. Aku juga tahu yang lain, tapi cuma nama aja."
"Tapi tetep paling ganteng aku, sih."
Dasar Ibrahim Abdurrahman suka nggak nyambung! Aku mencibir lagi. Punya suami kok pe-denya luar biasa.
Tapi yang dikatakan Mas Ahim benar semua. Aku memang nyaris tak kenal banyak dengan teman seangkatan Mas Ahim, apalagi yang laki-laki. Selain jaraknya yang terlalu senior dan junior, aku juga pendiam, pemalu, dan..., ya itu tadi, malas ngurusin yang bukan urusanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Dodol
General FictionSarah dan Ahim saling mengenal sejak kecil. Mereka dekat seperti kakak dan adik. Sering berantem mewarnai hari-hari keduanya saat bertemu. Setelah dewasa, orang tua keduanya menjodohkan mereka. Suka tidak suka, mau tidak mau, mereka harus hidup bers...