Happy reading :)
***
Nggak terasa sudah hampir satu bulan aku menyandang status istri. Selama itu pula aku masih bertahan untuk tak melepas jilbab di depan Mas Ahim, meski berkali-kali dia memintaku melakukannya.
"Sar, kamu tuh kenapa sih ngelepas jilbab di depanku aja kok nggak mau?" tanya Mas Ahim malam itu.
"Ehk. Ak-aku malu, Mas. Belum siap." Aku tertawa kecil. Mulai gugup setiap kali dia membahas soal ini.
"Ya kenapa? Aku kan suamimu, udah boleh kok lepas jilbab di depanku. Lepas baju aja boleh, sunnah malah."
"Hih, kamu tuh ngomong apa sih, Mas?" Aku bergidik mendengar jawabannya.
Melepas baju selain di kamar mandi saja aku risih, apalagi di depan laki-laki. Biarpun dia berstatus suami, tapi membayangkan buka aurat di depannya masih membuatku geli. Mungkin karena pernikahan kami bukan didasari rasa cinta, hanya sayang dan niat baik saja.
"Aku tuh serius, Sar."
"Aku malah dua rius," candaku. Dia diam saja. Memang nggak lucu juga, sih.
"Cieee, Mas Ahim yang ganteng ngambek ni yeee." Aku menggodanya lagi. Dia tetap diam.
"Dih, malah marah. Kamu lagi PMS ya, Mas? Sensi amat nggak bisa diajak becanda." Aku tetap mengajak bercanda. Dia tetap pasang muka serius.
"Aku lagi nggak pengen bercanda, Sar. Kalau kamu lagi nggak mau ngobrol serius, ya udah nggak apa-apa, besok-besok lagi aja ngobrolnya."
Dia pun beranjak meninggalkan aku. Aku cuma diam menatap punggungnya. Tak ada inisiatif sedikit pun untuk menahan kepergiannya.
Mas Ahim menuju ke pintu, tangannya sudah menggenggam handle pintu ketika kemudian aku berlari dan memeluknya dari belakang.
"Mas, maafin aku. Jangan marah, ya. Maaf. Huhuhuuu ...." Tangisku tumpah di punggungnya. Dia membalikkan badan, membiarkan aku menyelesaikan tangisku di dadanya.
"Udah nangisnya? Mau dilanjut nggak ngobrolnya?" Mas Ahim masih istiqomah dengan keseriusannya. Tapi sungguh, dia makin ganteng kalo lagi serius begitu. Kesannya berwibawa banget.
"Iya, udah. Maaf."
Dia tetap diam, tapi tiba-tiba mengangkat badanku dan membawaku ke tempat tidur.
"Mas Ahiiim, apa-apaan sih, gak usah macem-macem, deh. Turuniiin." Aku berontak, tapi tetap kalah kuat darinya.
"Aku mau bicara serius, Sarah Annisa. Duduk yang baik," perintahnya. Aku menurut, seperti kerbau dicocok hidungnya.
"Aku pengen tahu, kenapa kamu ngeyel nggak mau lepas jilbab di depanku? Apa kamu masih ragu sama pernikahan kita? Kamu ragu kalau kita akan berhasil melalui ini semua? Kamu khawatir kita berhenti dan berpisah di tengah jalan? Kamu mau jaga-jaga seandainya kita pisah kamu masih original?" tanyanya beruntun. Matanya menatapku tajam. Aku mengkeret. Menunduk. Takut.
"Aku malu," jawabku singkat. Juga pelan. Masih sambil menunduk.
"Sarah Annisa, ini bukan soal malu atau nggak malu. Ini menyangkut harga diriku." Suara Mas Ahim terdengar tegas.
Kayaknya kali ini dia benar-benar serius, sama sekali tak ada kesan main-main dalam bicaranya. Sampai dia panggil aku dengan nama lengkap segala. Dua kali. Mana bawa-bawa harga diri pula. Aku makin ciut.
"Dengar ya, Sar." Nada suaranya melembut, mungkin dia melihat aku yang mulai menunjukkan perubahan ekspresi.
"Aku suamimu, Sar. Halal melihat bagian-bagian yang menjadi auratmu. Rambutmu, lehermu, kupingmu. Ini bukan sekedar soal nafsu dan nggak nafsu. Sejauh ini aku mencoba untuk belajar menjadi suami yang baik, walaupun mungkin yang mendominasi masih rasa kakak adik, setidaknya aku sudah belajar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Dodol
General FictionSarah dan Ahim saling mengenal sejak kecil. Mereka dekat seperti kakak dan adik. Sering berantem mewarnai hari-hari keduanya saat bertemu. Setelah dewasa, orang tua keduanya menjodohkan mereka. Suka tidak suka, mau tidak mau, mereka harus hidup bers...