Happy reading :)
***
Hari yang dinanti-nanti keluargaku dan keluarga Mas Ahim tiba. Hanya keluarga kami, tidak dengan kami —aku dan Mas Ahim. Kami tak pernah menunggu hari ini. Bahkan kami berharap, kalau bisa hari ini tak usah tiba saja.
Ya, hari ini adalah hari pernikahan kami. Acara akan dimulai dengan akad nikah di rumah orangtuaku, dilanjutkan resepsi dua jam kemudian di gedung yang lokasinya tak begitu jauh dari rumah kami.
Aku masih berada di kamar bersama ibu perias cantik dan baik hati yang juga bertetangga denganku. Beliau tak henti menggoda dan mencandaiku sampai aku terkikik-kikik. Tak ada kesedihan yang tergurat di wajahku. Meski demikian, rasanya tak ada juga kegembiraan di sana. Semuanya datar saja. Mungkin begitu juga dengan Mas Ahim, karena kami berdua sama-sama hanya menjalani peran kami dalam rangka berbakti kepada orangtua.
Begitu riasanku siap, aku dijemput dan digandeng ibu menuju ruang keluarga. Prosesi ijab dan qabul akan segera dilangsungkan.
Pak Penghulu yang akan mencatat pernikahan kami duduk berdampingan dengan bapak yang akan menjadi wali nikahku. Dua orang saksi nikah adalah Bapak Ketua RW di tempat tinggalku dan Mas Raka, kakak ipar Mas Ahim yang kedua.
Mas Ahim duduk dengan posisi tegak di hadapan bapak. Wajahnya tegang. Mungkin khawatir akan salah menyebut nama mempelai perempuan, seperti yang selama ini selalu jadi topik ledek meledek kami.
Ibu menuntunku untuk menempati kursi sebelah Mas Ahim yang kosong, lalu beliau menempatkan diri persis di belakangku.
Tanpa berlama-lama petugas dari KUA memulai rangkaian prosesi akad nikah. Dari pemeriksaan dokumen, membaca doa-doa dan semacamnya, sampai kemudian menyerahkan ijab dan qabul pada bapak dan Mas Ahim.
"Ananda Ibrahim Abdurrahman, saya nikahkan dan saya kawinkan Engkau dengan anak perempuan saya Sarah Annisa, dengan mas kawin seperangkat alat salat dan logam mulia emas seratus dua puluh tiga gram dibayar tunai."
"Saya terima nikahnya Sarah Annisa binti Mustofa dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." suara Mas Ahim terdengar lancar dan mantap mengucap qabul. Kedua saksi dan petugas KUA serempak berkata "Sah".
Aku dan Mas Ahim berdiri berhadap-hadapan. Dia memasangkan cincin di jari manis tangan kananku, lalu aku mencium punggung tangannya. Semua terjadi dengan sedikit canggung. Kami suami istri sekarang.
Tiba-tiba Mas Ahim meraih kepalaku. Dan untuk pertama kalinya seorang laki-laki mencium keningku. Dia melakukannya dengan lembut. Mungkin sudah biasa dengan pacar-pacarnya dulu. Hih..., aku malah jadi geli. Tanganku bergerak mengusap bekas kecupannya. Spontan saja.
"Jangan diusap, Dodol! Diliatin orang tahu nggak, sih. Malu-maluin!" bisik Mas Ahim dengan gigi terkatup rapat, takut terdengar orang lain. Aku terkekeh, dalam hati mengiyakan.
Fotografer memotong perdebatan kami dan mengarahkan untuk sesi foto. Banyak arahan pose yang membuat aku dan Mas Ahim tergelak-gelak. Lagi-lagi merasa geli. Masih ada rasa risih dan aneh yang menyusup di hati.
"Cieee, lancar yaaa. Katanya takut salah sebut nama pacarmu. Manaaa? Memang dasarnya kamu tuh suka sama aku. Udah sih, akui aja." Aku mencibir meledeknya. Sesi foto baru saja usai.
"Diem, bawel!" Dia menepuk mulutku.
"Kalau beneran sampai salah sebut nama Danti pas ijab qabul, pasti aku nggak diakuin anak lagi sama bapak ibuku, Sar." Dia cekikikan, tapi agak sumbang. Mungkin belum sepenuhnya ikhlas harus putus dengan mantan terakhir.
Tapi ya, tega-teganya dia sebut nama mantan —yang terpaksa diputuskan— di depan istri. Mana sambil mendorong jidatku pula. Kebiasaannya yang paling kubenci.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Dodol
General FictionSarah dan Ahim saling mengenal sejak kecil. Mereka dekat seperti kakak dan adik. Sering berantem mewarnai hari-hari keduanya saat bertemu. Setelah dewasa, orang tua keduanya menjodohkan mereka. Suka tidak suka, mau tidak mau, mereka harus hidup bers...