Happy reading :)
***
Sudah hari keempat aku dirawat di klinik tempat Mbak Nisa praktek. Sebenarnya secara fisik aku sudah membaik sejak kemarin, hanya saja hatiku belum baik, dan itu cukup mempengaruhi kondisi fisikku. Bersyukur sekali sore nanti aku diizinkan untuk pulang.
Tapi aku masih malas kalau hanya di rumah berdua dengan Mas Ahim. Aku masih banyak mendiamkan dan cuek padanya. Meski harus bersandiwara setiap kali orang tua kami datang menjengukku. Kami memang merahasiakan kronologis kejadiannya pada beliau-beliau.
"Alhamdulillah nanti sore bisa pulang ya, Sar. Kamu pasti udah kangen rumah," kata Mas Ahim. Tangannya meraih tanganku untuk digenggamnya, namun buru-buru kutepis.
"Nggak! Aku belum mau pulang ke rumah. Nanti aku mau pulang ke rumah bapak ibu aja," sahutku. Wajah Mas Ahim berubah seketika.
"M-maksudmu ke rumah Om Tofa?"
"Ya iya lah, memangnya aku punya bapak ibu berapa!"
Aku membuang muka. Sebenarnya tak tega melihat mukanya yang mendadak pucat itu. Tapi aku masih sakit hati setiap kali ingat kalau dia lebih peduli pada Mbak Danti.
"Sar, jangan gitu, lah. Nanti bapak ibumu tahu kejadian yang sebenarnya, gimana?"
"Ya nggak pa-pa. Sekalian aja biar tahu mantunya tuh kayak gimana."
"Jangan gitu lah, Sar. Please. Sebagai istri kan kamu wajib menjaga nama baik suami, juga menutupi aib keluarga kita."
"Oh gitu, ya? Waktu ngurusin mantan sakit kok nggak mikir sampai ke situ?" Mas Ahim menyugar kasar mendengar kalimatku barusan.
"Sarah, please. Udahlah nggak usah bahas itu lagi. Aku harus gimana biar kamu maafin aku? Kamu bilang aja, akan kulakukan semua yang kamu mau, asal aku dapat maafmu."
Sebenarnya aku mulai tak tega, Mas Ahim terlihat sangat frustrasi. Dia juga tak pernah berhenti meminta maaf dan menyesali kesalahannya.
Kemarin Mbak Nisa juga sudah menjelaskan kronologi kejadiannya. Saat itu Mas Ahim sedang di lapangan, tiba-tiba ditelepon oleh pihak kepolisian dan rumah sakit bahwa Mbak Danti kecelakaan. Entah bagaimana ceritanya sampai Mas Ahim yang dihubungi, aku tak ingin tahu.
Masih kata Mbak Nisa, Mas Ahim sempat galau akan melakukan apa, tapi akhirnya rasa iba dan tak tega yang keluar sebagai pemenangnya. Dia ke rumah sakit untuk melihat kondisi Mbak Danti. Setelah menerima telepon dariku dan sadar kalau dicari Mbak Hana dan lainnya, dia buru-buru kembali ke proyek.
Inginnya memaklumi keputusannya waktu itu, tapi masih berat bagiku. Aku mengalihkan pandang dari Mas Ahim, tak mau jatuh iba padanya.
"Kalau ada yang ingin kukatakan, ya cuma itu tadi. Kita pulang ke rumah orang tuaku. Kalau kamu nggak mau tinggal di sana, cukup anterin aku aja, nanti kamu pulang sendiri ke rumah. Kalau nganter juga nggak mau ya nggak masalah juga, nanti aku minta jemput bapak sama ibu."
"Sarah! Jaga bicaramu!" Dia membentakku. Aku terdiam. Ada yang nyeri di dadaku.
"Astaghfirullah hal adzim. Maaf, Sar. Aku nggak ada maksud bicara keras sama kamu. Nggak ada, Sar. Sama sekali nggak ada. Maaf, Sar. Maafin aku, ya. Aku bingung mesti gimana lagi."
Mukanya kacau sangat. Dipeluknya aku erat. Lalu terasa ada yang berguncang. Dia menangis. Ya, Mas Ahim menangis.
Masya Allah, suamiku menangis gara-gara aku. Apakah aku harus bahagia? Atau justru aku ini berdosa?
Mas Ahim sudah berusaha meminta maaf padaku. Berhari-hari mengulangi tanpa sedikit pun memikirkan gengsi dan harga diri. Dia merendah di hadapanku demi mendapatkan maafku. Kurang apa lagi? Sedangkan Allah saja Maha Pemaaf.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Dodol
General FictionSarah dan Ahim saling mengenal sejak kecil. Mereka dekat seperti kakak dan adik. Sering berantem mewarnai hari-hari keduanya saat bertemu. Setelah dewasa, orang tua keduanya menjodohkan mereka. Suka tidak suka, mau tidak mau, mereka harus hidup bers...