"Sarah, bangun, Sar. Udah mau subuh nih." Antara sadar dan tidak, aku mendengar seseorang menyuruhku bangun sambil mengguncang badanku asal saja.
"Astaghfirullah, Sarah. Bangunin kamu susah amat sih. Tidur kok kayak orang mati." Suara gerutuan terdengar makin jelas.
Aku sungguh terkejut. Buru-buru turun dari tempat tidur tanpa sempat nge-lag. Segera kulipat selimut biru muda sambil mengomel, menyalahkan Mas Ahim yang tak membangunkanku lebih awal. Dia tak terima, katanya sudah membangunkanku sampai nyaris putus asa.
Tidur di rumah mertua, bangun tidur keduluan suami pula. Duh, untung menantu kesayangan yang sangat diharapkan, jadi akan banyak pemakluman.
Ya, semalam kami menginap di rumah orang tua Mas Ahim. Tadinya kami hanya berniat berkunjung seperti biasa, tapi beliau berdua meminta kami menginap di sini, jadi ya terpaksalah kami mengiyakan.
"Ya Allah, apa iniii?!" Aku memekik ketika melihat bercak darah di atas sprei, tepat di posisi tidurku.
"Apaan sih, heboh amat?" Mas Ahim menghampiri.
"Semalem kamu nggak ngapa-ngapain aku kan, Mas?" tanyaku agak panik. Kutunjukkan noda darah yang ada di atas kasur. Pikiranku dipenuhi hal-hal yang tidak kuinginkan.
"Maksudmu apa sih, Sar? Ngapa-ngapain, gimana?"
"Ngapa-ngapain ya itu..., nganu..., kamu gituin aku. Duh, gimana nih?"
"Apa sih, Sar? Ribut banget nggak jelas."
"Itu lho, kok ada darah. Katanya kalau cewek masih perawan, pas malam pertama melakukan itu pasti berdarah. Nah, itu..., itu ada darah," jawabku, masih sambil menunjuk darah yang menghias sprei kami. Rasanya aku ingin menangis.
"Jangan ngaco, ah." Mas Ahim mulai jengkel.
Serr.... Tiba-tiba ada yang terasa mengalir di antara kedua pahaku. Aku pun tersadar dan buru-buru lari ke toilet di kamar kami.
"Maaass, kamu salat sendiri aja ya. Aku dapet!" teriakku dari dalam toilet.
"Nggak usah teriak-teriak juga, kali. Ya udah, aku ke mushola sekarang. Mau salim nggak?" suara Mas Ahim terdengar.
"Nggak. Nggak usah. Udah berangkat aja sana, cepet."
Sebenarnya bukan aku nggak mau salim sebelum dia berangkat ke musala. Tapi sungguh, aku malu pada Mas Ahim karena sudah menuduhnya yang bukan-bukan. Saking paniknya melihat darah di tempat tidurku, aku sampai lupa kalau aku ini perempuan. Punya siklus haid.
Usai mandi aku bergegas ke belakang, mencuci bagian sprei yang terkena noda darah hingga bersih, lalu kutaruh di keranjang laundry. Tak lupa meminta sprei baru pada Mbok Nah dan segera kupasang rapi di tempat tidur kami. Semua kulakukan secepat mungkin, sebelum Mas Ahim pulang dari musala.
"Assalamualaikum." Suara Mas Ahim terdengar bersama pintu kamar yang terbuka.
"Waalaikumussalam," jawabku pelan. Tak beranjak satu jari pun dari posisi dudukku di tepi tempat tidur.
Mataku tak lepas memandang handphone, berpura-pura memainkannya. Padahal aku hanya tak siap memandang Mas Ahim, masih malu dengan kekonyolan yang kubuat saat bangun tidur tadi.
"Suami pulang tuh disambut, jangan diem aja. Salim kek, cium tangan kek, apalah. Jangan malah main HP." Mas Ahim menasihati. Tangan kanannya terulur ke arahku, kusambut dan kucium punggung tangannya. Lalu diambilnya gawai dari tanganku.
"Lah, HP-mu mati gini kok. Lha kamu tuh dari tadi lihatin apa?" Dia tertawa.
"Aku..., aku..., aku itu..., emm..., anu...." Aku tergagap-gagap, lalu air mata mulai menggenang, siap dialirkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Dodol
General FictionSarah dan Ahim saling mengenal sejak kecil. Mereka dekat seperti kakak dan adik. Sering berantem mewarnai hari-hari keduanya saat bertemu. Setelah dewasa, orang tua keduanya menjodohkan mereka. Suka tidak suka, mau tidak mau, mereka harus hidup bers...