11. Gara-gara Kamu!

2.2K 315 74
                                    

Happy reading :)

***

Sudah hampir sepekan ini badanku lemas. Ngantuk dan pegal-pegal sering sekali melanda. Untungnya hari ini Mas Ahim ada pekerjaan di lapangan, jadi aku bisa sedikit santai. Tak perlu memasak karena Mas Ahim nggak bakalan pulang untuk makan siang.

Drrt drrt. Ponselku bergetar. Sengaja tak kuaktifkan nada dering karena aku ingin rebahan dengan tenang. Tapi aku lupa, menaruh gawai di atas nakas kayu, jadi tetap saja getarannya mengganggu.

Kutengok bilah pemberitahuan, sebuah pesan dari Mbak Hana.

[Sar, Ahim balik ke rumah ya?]

[Gak, Mbak. Gimana?]

Alat komunikasi itu bergetar lagi, kali ini Mbak Hana menghubungiku lewat panggilan telepon.

"Assalamualaikum, Mbak. Gimana?"

"Waalaikumussalam. Ahim beneran nggak pulang ya, Sar? Biasanya dia pulang makan siang, kan?"

"Iya, Mbak. Beneran nggak pulang kok, kan katanya ke lapangan. Memangnya nggak ada di lapangan ya?"

"Iya, nih. Malah barusan anak lapangan telpon aku nyariin si Ahim. Rak nggenah tenan cah siji iki," omel Mbak Hana dari seberang sana. Aku jadi tak enak hati mendengarnya.

"Ya udah, Mbak. Biar aku yang telpon Mas Ahim," tawarku. Mencoba memberi alternatif.

Sudah beberapa kali aku berusaha menghubungi Mas Ahim. Nihil. Tak juga diangkat, meski terdengar nada panggil. Baru pada menit ke dua puluh, terdengar jawaban dari seberang sana.

"Assalamualaikum. Gimana, Sar?"

"Waalaikumussalam. Mas, kamu di mana? Dicari Mbak Hana, sampai telpon aku segala."

"Eh, anu..., ak-aku tadi di lapangan."

"Sekarang?"

"Emm, maaf ya, Sar. Ini aku di..., di itu, eh anu, di..., di rumah sakit."

"Kamu kenapa, Mas? Kamu baik-baik aja, kan? Nggak ada kecelakaan kerja, kan?" ujarku sedikit panik.

"I-iya aku baik-baik aja kok, Sar. Maaf ya, Sar. Ini..., aku tuh anu, emm..., itu D-Danti k-kecelakaan."

"Oh, ya udah. Assalamualaikum."

"Sar, tunggu. Aku jelasin du---"

Tut tut tut.

Kututup telepon dengan kesal. Hatiku sakit sekali. Mungkin ini yang dinamakan luka tapi tak berdarah.

Tak terasa ada hangat yang meleleh di pipiku. Buru-buru kuhapus. Buat apa aku menangisi Mas Ahim yang lebih peduli sama mantan padahal istrinya juga lagi kurang enak badan.

Drrt. Drrt. Gawaiku berdering lagi. Panggilan dari Mbak Hana. Iyalah, mana mungkin Mas Ahim telepon lagi buat memaksa menjelaskan, dia kan masih sibuk ngurusin mantan. Huh.

"Iya, Mbak," sambutku malas-malasan.

"Gimana, Sar? Diangkat nggak? Ahimnya di mana?"

Pengantin DodolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang