Happy reading :)
***
Harinya tiba. Aku dan Mas Ahim melakukan penerbangan menuju Madinah dan menikmati empat hari berdua tanpa memikirkan urusan pekerjaan dan urusan keduniawian yang lain. Di hari ke-lima kami akan mengambil miqot di Bir Ali, kemudian melanjutkan perjalanan ke Mekah, dan menghabiskan waktu lima hari di sana.
Tidak plus Turki, apalagi Eropa. Sebenarnya Mas Ahim menawariku, tapi aku menolak. Rasanya sayang kalau harus mengeluarkan banyak uang cuma untuk jalan-jalan. Ya meskipun itu uangnya Mas Ahim sendiri, tidak pakai uangku sama sekali. Tapi kan, kalau ada apa-apa dengan keluarga kecil kami, tetap saja uang itu yang akan kami pakai.
Mas Ahim sih, belum memberiku izin untuk bekerja, jadi pengisi pundi-pundi kami masih dari dia saja. Aku sendiri sebenarnya belum tahu kondisi keuangan kami secara detail. Hanya secara umum saja.
Emm, gimana ya? Sampai hari ini kami belum membahas lebih banyak dan serius soal keuangan. Yang penting kebutuhan rumah tangga terpenuhi, aku juga dapat uang jajan sendiri. Selebihnya aku masih tak enak hati untuk menanyakan soal ini.
Harap maklum, namanya juga rumah tangga yang dimulai dengan dadakan dan sedikit terpaksa, jadi banyak hal yang belum terpikirkan untuk dibahas lebih lanjut.
"Eh, Mas." Kutepuk lengannya pelan. Dia sedang asyik memandang hamparan laut di bawah sana. Peta elektronik di depanku menunjukkan bahwa kami sedang berada di atas perairan India.
Mas Ahim menoleh, menawarkan untuk bertukar tempat duduk denganku. Aku menolaknya.
"Mas, kalau di tanah suci bahas soal keuangan gitu boleh nggak, sih?"
"Kayak menteri keuangan aja, lagi umroh juga tetep urusannya keuangan." Dia menjawab pertanyaanku sambil cekikikan.
"Ih, aku serius, tahu!" Kupukul tangannya agak keras.
"Mau bahas keuangan apa, sih?"
"Rumah tangga kita." Aku berbisik, khawatir terdengar penumpang di sekeliling. Tapi kayaknya nggak mungkin juga, sih.
"Oh, itu. Insya Allah boleh lah. Bahas apapun soal rumah tangga di sana boleh, asal yang dibahas hal-hal yang baik dan untuk kebaikan. Bahas visi misi berkeluarga, rencana masa depan, keuangan, apa aja boleh, Sar. Kan kalau di sana bisa langsung kita ajukan sebagai doa di tempat-tempat yang mustajab juga. Bagus itu.
"Aku juga udah merencanakan satu doa dan ikhtiar buat di sana nanti kok, Sar."
"Oh ya? Doa apa, tuh? Aku boleh tahu?" Mas Ahim mengangguk tanpa ragu.
"Doa biar kita segera punya baby, Sar. Aku yakin, punya baby akan bikin kita berdua makin dekat dan hangat." Dia meraih jari-jariku, menggenggamnya erat sambil matanya menatap awan-awan yang berarak lambat.
"Tapi aku takut, Mas. Aku..., aku belum siap. Maaf." Kusandarkan punggung dan kepalaku pada sandaran kursi. Kupejamkan mata, dengan tetap membiarkan Mas Ahim menggenggam tanganku.
Sakit fisik rasanya tak seberapa, tapi setiap kali teringat Mas Ahim mengatakan Aku di rumah sakit, Danti kecelakaan, rasanya perih tak terkira. Hatiku seakan luka yang diremas-remas dengan garam lalu dikucuri cuka.
"Maafin aku, Sar. Kamu tidur, ya. Nanti di sana kita sama-sama mohon ampunan."
"Memangnya salahku apa?"
"Hmm, nggak boleh sombong dan merasa nggak punya salah, Sar. Kita manusia, kadang berbuat kesalahan tanpa kita sadari. Sulit memaafkan, selalu dihantui hal-hal buruk, itu juga bisa jadi karena sebuah kesalahan yang nggak kita sadari."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Dodol
General FictionSarah dan Ahim saling mengenal sejak kecil. Mereka dekat seperti kakak dan adik. Sering berantem mewarnai hari-hari keduanya saat bertemu. Setelah dewasa, orang tua keduanya menjodohkan mereka. Suka tidak suka, mau tidak mau, mereka harus hidup bers...