Warning: 18+
***
Pasca kejadian di lapangan basket, aku dilanda galau berkepanjangan. Mungkin memang sudah waktunya menyerahkan diri seutuhnya pada Mas Ahim. Tapi aku juga ragu. Aku masih takut. Cerita yang lebih mendominasi pikiranku tentang malam pertama adalah cerita yang seram-seramnya, bukan yang plus-plusnya.
Duh, aku jadi pusing memikirkan hal sederhana ini. Eh, sederhana nggak sih kalau sudah menikah tiga bulan lebih, tapi belum mengalami malam pertama?
Aku nggak bisa begini terus. Aku harus mengambil keputusan, iya atau tidak. Dan aku memutuskan untuk mencobanya alias..., iya.
Malam ini Mas Ahim pulang agak telat karena ada pekerjaan di luar kota. Tak jauh, sekira 60 Kilometer saja dari kota tempat kami tinggal, jadi dia tak perlu menginap. Alhamdulillah, karena selama tiga bulan menikah, kami belum pernah sekalipun tidur terpisah.
19.37, terdengar dering dari gawaiku, panggilan dari Mas Ahim.
"Assalamualaikum, Sar."
"Waalaikumussalam. Udah sampai mana, Mas?"
"Udah di rumah Mbak Hana ini, Sar. Kamu masak nggak?"
"Iya, masak, tapi seadanya nggak pa-pa ya."
"Gaya amat, biasanya juga seadanya deh," sahut Mas Ahim dari sana. Huh, rayu dikit, kek!
"Iya udah, cepet pulang ya. Hati-hati di jalan."
"Kenapa nyuruh cepet-cepet? Kamu kangen aku, ya?"
"Udah, ah. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
Setelahnya aku buru-buru menata meja makan, membuatkan susu coklat panas, lalu masuk ke kamar untuk menyiapkan baju ganti Mas Ahim. Tak sampai 15 menit, suara derum mobil terdengar dari luar.
Seperti biasa aku membuka pintu rumah sebelum dia turun dari mobil, lalu menyambutnya dengan senyuman paling manis.
"Assalamualaikum," sapaku sambil mencium tangannya.
"Waaaikumussalam." Dia menyambut dengan mengecup keningku. Hmm, ada yang berdenyar di hatiku.
"Kamu mau mandi dulu apa mau makan dulu, Mas?"
"Terserah kamu, Sar, pengennya aku makan dulu apa mandi dulu?"
"Dih, gimana, sih? Kayak anak piyik aja, masa kayak gitu pakai nanya segala." Aku merajuk.
"Kalau milih mandi dulu, kamu mau mandiin aku nggak?"
"Apa?" Aku pura-pura tak mendengar. Dia tertawa, mendorong kepalaku dengan telunjuknya.
"Ya udah, kita makan dulu aja ya, aku laper. Sebenernya tadi ditawarin ayam panggang di rumah Mbak Hana. Lha tapi nyonya nyuruh aku cepet pulang, ya udah deh, aku makan pakai sayur lodeh aja nggak pa-pa."
Cubitanku mendarat di pinggangnya begitu Mas Ahim menyelesaikan kalimatnya. Kesal sekaligus minder dengan perbandingan masakan di rumah dengan di rumah Mbak Hana. Aku belum jago kalau urusan masak memasak. Beda dengan Mbak Hana, dia punya asisten rumah tangga yang masakannya juara.
Mas Ahim tertawa kegelian gara-gara cubitanku, lalu merangkulku menuju meja makan. Lagi-lagi ada yang berdesir, di sini, di hatiku.
Kami makan sambil ngobrol tentang kejadian hari itu. Tak lama, karena aku kasihan melihat lelah di mata Mas Ahim yang sudah seharian bekerja.
"Mas, ngobrolnya nanti lagi aja, deh. Kamu mandi dulu aja biar seger. Aku tak cuci piring dulu." Kuangsurkan handuk kepadanya.
"Ayolah, Sar. Mandiin, dong. Please," rengeknya seperti balita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Dodol
General FictionSarah dan Ahim saling mengenal sejak kecil. Mereka dekat seperti kakak dan adik. Sering berantem mewarnai hari-hari keduanya saat bertemu. Setelah dewasa, orang tua keduanya menjodohkan mereka. Suka tidak suka, mau tidak mau, mereka harus hidup bers...