18. Salah Orang

1K 192 58
                                    

Enjoy reading :)

***

Mas Ahim menunjukkan keseriusannya. Dia menemui bapak ibuku di ruang tamu. Mbak Hana dan Mas Raka juga masih ada di sana, jadilah Mas Ahim menyampaikan semua yang spontan dia ucapkan di depanku tadi.

"Terus?" tanyaku setelah mendengar laporan singkat dari Mas Ahim.

"Terus ya udah. Mbak Hana sama Mas Raka pamit pulang, nanti kita disuruh main ke sana, ngobrol lebih banyak soal kerjaan."

"Nanti?"

"Iya. Aku udah bilang sih, kalau habis isya kita mau ke Mbak Nisa biar segera diperiksa dan dipastikan udah berapa usia kehamilan kita."

"Kita? Yang hamil cuma aku kali, Mas? Suka ngawur, deh."

"Ya tapi kan yang bikin kita. Itu juga nanti jadi anak kita."

"Terserah, Mas. Terseraaahh."

Seperti biasa, suami gantengku itu malah mengakak mendengar aku memekik penuh kekesalan.

"Ada apa to ini?" Kedatangan bapak yang tiba-tiba membuat kami menyudahi drama yang baru saja terjadi. Ibu menyusul masuk ke kamar, lalu duduk di sampingku.

"Bener udah hamil, Nduk?" Diusapnya perutku dengan lembut.

"Kalau dari hasil cek pakai testpack sih begitu, Bu. Garis dua. Mas Ahim nanti mau ngajakin ke Mbak Nisa katanya, biar diperiksa dan dipastiin."

"Iya. Ibu setuju."

"Tentang yang disampaikan Mas Ahim tadi bagaimana, Nduk?" Bapak menimpali. "Kamu serius mau diajak pindah? Sudah dibicarakan dan dipikirkan matang-matang?"

"Belum sih, Pak. Itu tadi mas spontan aja bilang gitu, tapi kayaknya bisa jadi solusi sih, Pak. Sarah sih jujur aja nggak sanggup kalau harus ada drama-drama berikutnya soal mantan. Sarah tahu kapasitas perasaan Sarah, Pak. Mungkin ini bisa jadi salah satu jalan keluar."

Mas Ahim sih, pakai nyeplos aneh-aneh segala. Mana langsung ditindaklanjuti. Rupanya dia panik betul, soalnya nggak biasanya dia grusa-grusu begitu.

"Iya, Om, Bulik. Kami izin nanti ke Mbak Nisa, insya Allah lanjut ke Mbak Hana, dan kami izin nanti pulangnya ke rumah, nggak ke sini." Mas Ahim menjelaskan kembali apa yang sudah dibahas di ruang tamu —tanpa aku— tadi.

"Heh, enak aja. Kok nggak izin aku dulu kalau pulangnya nggak ke sini? Nggak nggak, kita pulangnya ke sini."

"Tapi nanti kita pulang udah malam lho, Sar."

"Memangnya rumah Mbak Hana ke sini butuh waktu berapa hari? Cuma dua puluh menit, kan?"

"Tetep aja nanti harus ganggu Om Tofa dan Bulik buat bukain pintu lah, Sar."

"Kita bawa kunci cadangan, dong. Gimana, sih? Katanya pinteeerrr."

"Sudah, sudah. Kamu kalau udah ngeyelan memang butuh kesabaran lebih ngadepinnya. Bersyukur aja Mas Ahim sabar sama kamu. Kamu tinggal manut aja, Nduk. Sudah, nanti kalian pulang ke rumah kalian sendiri. Selesaikan dulu perencanaan kalian. Ini bukan soal main-main lho.

"Kalau bapak ibu sendiri intinya menyerahkan sepenuhnya sama kalian, nggak akan nggondheli atau apapun itu. Kami sadar betul dari sejak hari pertama Sarah lahir, bahwa punya anak perempuan itu ya risikonya suatu hari nanti akan melepaskan dia untuk mengikuti suaminya. Insya Allah bapak ibu nggak masalah.

"Kalian sudah sama-sama dewasa, sudah hampir setahun berumah tangga, mestinya sudah bisa mengambil keputusan tanpa campur tangan orang tua. Pulanglah dulu. Bicarakan baik-baik dengan kepala dingin. Kalau sudah ada keputusan, ya nanti harus sama-sama konsisten dan konsekuen dalam menjalaninya."

Pengantin DodolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang