17. Rahasia Terbongkar

1.1K 217 55
                                    

Happy reading :)

***

Aku menoleh ke kanan kiri. Bau obat menyengat hidung. Tiga perempuan mengelilingiku. Dua berbaju warna hijau dengan masker dan penutup kepala. Satu lagi mengenakan jas putih dan berkalung stetoskop, pasti dokternya.

"Saya di mana?"

"Ibu di IGD. Baru saja tiba. Kata bapak tadi ibu pingsan di rumah. Maaf, kami periksa Ibu dulu ya." Aku mengangguk lemah.

Ibu? Aku dipanggil ibu? Memangnya aku terlihat setua apa? Iya sih demi kesopanan, tapi malah bikin aku jadi kesal.

Terus yang disebut bapak itu siapa? Apakah bapakku? Atau malah..., Mas Ahim?  Huh, kenapa harus begini kejadiannya?

Mataku memindai sekitar. Pada sablonan baju mbak-mbak suster itu terbaca nama kliniknya. Ini klinik terdekat dari rumah orang tuaku, letaknya persis di depan gerbang perumahan. Otakku menganalisa dengan segera, bahwa aku pingsan tidak terlalu lama.

Ingin bertanya aku kenapa, tapi ketiganya terlihat belum selesai memeriksa. Aku cuma bisa berdoa, semoga kehamilanku tidak terdeteksi di sini. Ini klinik umum bukan RSIA, harapanku sedikit membubung.

"Tolong panggilkan suaminya." Perintah dokter pada salah satu perawat. Aku membuang napas, malas sekali harus bertemu Mas Ahim lagi.

Tak sampai satu menit Mas Ahim sudah berada di depan kami. Dia sendirian.

"Istri saya kenapa, Dok?"

"Oh, nggak apa-apa, Pak. Kelihatannya ibu kecapaian dan ada sedikit emosi juga yang mempengaruhi."

"Iya, Dok. Saya berantem sama dia. Harusnya sih dia jangan boleh masuk ke sini." Mataku menatap sengit pada Mas Ahim.

Dokter dan kedua suster tersenyum-senyum, Mas Ahim malah cekikikan.

"Ya jangan jujur banget gitu juga kali, Sar," ucap Mas Ahim. Tangannya terulur hendak memijat kakiku. Kutendang secepat kilat.

"Harus dirawat atau boleh pulang, Dok?" tanya Mas Ahim lagi.

"Boleh pulang. Dan harus pulang." Aku yang menyahut.

"Ssstt, apa sih, Sar? Kamu nggak punya kapasitas memutuskan."

"Tapi kan aku yang merasakan. Aku udah baikan, kok. Pasti langsung sehat kalau nggak lihat kamu." Satu cubitan diberikan Mas Ahim untukku.

"Maaf ya, Dok. Kami ini pengantin masih lumayan baru, sudah kenal dari sejak kecil, jadinya ya begini. Mohon maklumnya."

"Bu Dokter nggak nanya, kali." Aku sewot.

"Dalam kondisi kayak gini, menjelaskan nggak perlu ditanya dulu. Udah, ah. Malu dikit, kek." Dikeplaknya pelan kaki kiriku. Aku meringis. Bu Dokter dan kedua asistennya masih tersenyum geli menyimak perdebatan kami.

"Jadi boleh pulang atau bagaimana, Dok?"

"Iya, pulang nggak apa-apa, Pak. Insya Allah ibu baik-baik saja, cuma perlu lebih banyak istirahat, ya fisiknya, ya pikirannya. Nanti saya beri resep. Vitamin saja."

Alhamdulillah, aku diperbolehkan pulang dan kehamilanku tidak terdeteksi. Ini jadi penyemangat sendiri buatku.

"Oh iya, mohon maaf ini, Pak. Tapi kalau memang benar yang dikatakan ibu bahwa bapak yang memicu emosi ibu, mungkin ada baiknya untuk mengurangi interaksi dulu sementara waktu. Beri kesempatan ibu untuk beristirahat dan menata hatinya. Insya Allah nggak lama ya, Bu? Satu dua hari ke depan sudah kangen dan pengen dekat-dekat Bapak lagi ya, Bu?" pesan dokter pada kami berdua.

Aku mencebik untuk kalimat yang terakhir, sama sekali tak setuju pada pendapat Bu Dokter. Tapi aku juga berterima kasih, setidaknya aku tak perlu berdekat-dekatan dengan Mas Ahim beberapa hari ini. Malah kalau bisa ya selamanya saja.

Pengantin DodolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang