Happy reading :)
***
Hampir tiga pekan kami tinggal di rumah orang tuaku. Bukan karena aku masih marah, tapi karena aku masih belum mau ditinggal sendirian di rumah saat Mas Ahim kerja. Ada sedikit trauma, khawatir aku tiba-tiba sakit atau apapun itu, dan tidak ada yang menemani.
Kejadian siang itu masih cukup membekas. Aku bersyukur sekali masih sempat menghubungi Mbak Hana di tengah kesakitan yang mendera.
Mas Ahim memaklumi kecemasanku. Dia sendiri tak tega meninggalkan aku sendirian di rumah sepanjang pagi hingga sore. Maka kami bersepakat untuk tinggal di rumah orang tuaku sampai aku merasa benar-benar sehat dan siap untuk kembali ke rumah kami.
Selama tinggal di rumah orang tuaku, Mas Ahim menunjukkan sikap yang baik, tak hanya padaku, tapi juga pada bapak ibuku. Aku merasakan betul betapa dia sangat menyayangiku. Dengan ibu dia sangat sopan dan tak segan-segan membantu, bahkan urusan dapur. Bapak yang paling senang karena punya lawan untuk bermain catur hampir setiap malam.
Pakde Rosyid dan bude —bapak ibunya Mas Ahim— setiap dua hari sekali datang. Selain untuk menjengukku, juga mengobrol dengan bapak dan ibuku. Hubungan orang-orang tua kami memang makin dekat dan hangat sejak kami saling terikat.
"Mas, aku mau ngomong."
Mas Ahim baru saja masuk ke kamar setelah salat isya di musala bersama bapak.
"Iya, Sar? Kamu pengen apa? Bilang aja."
"Aku nggak pengen apa-apa, Mas. Aku cuma pengen pulang ke rumah kita. Insya Allah aku udah sehat, udah ngerasa siap pulang. Mumpung besok weekend dan kamu libur, kita pulang ke rumah ya?"
"Ehk. M-maksudnya pulang dan tinggal di rumah kita terus kayak dulu, Sar?" Dia terlihat menahan kegembiraan, mungkin butuh meyakinkan diri dulu sebelum meluapkan perasaan.
Aku mengangguk sambil tersenyum. "Iya. Pulang ke rumah kita. Tinggal berdua seperti tuan dan nyonya."
"Sarah." Dia memelukku erat. Menghujani kepalaku dengan kecupan hangat.
"Kamu seneng banget ya, Mas?"
Dia melepasku dari peluknya. Memandangku, hingga mata kami saling beradu. "Iya. Aku seneng banget bisa kembali berdua aja sama kamu. Pokoknya aku janji, aku akan jadikan kamu ratu di istana hatiku."
"Nyontek lagunya Ada Band bukan, sih? Nggak kreatip." Aku terkekeh. Dia tertawa. Memelukku lagi, lebih erat dari yang tadi.
***
Sabtu pagi kami berpamitan kepada bapak ibu. Keduanya hendak ikut mengantar, tapi kami menolak dengan halus. Syukurlah bapak dan ibu tidak memaksa, hanya berpesan agar aku menjaga diri dan tidak melakukan pekerjaan berat dahulu. Aku tidak boleh kecapaian.
Pesan untuk Mas Ahim pun tak ketinggalan. Bapak ibu menitipkan aku untuk dijaga. Ada pula ucapan terima kasih karena Mas Ahim sudah memperlakukan aku dengan sangat baik dan penuh kasih sayang. Bapak dan ibu bahagia melihat kami.
Beliau berdua cuma tak tahu saja kalau menantunya itu pernah membuat anak mereka satu-satunya bersedih sampai.... Ah, sudahlah.
"Mikir apa, Sar?" Rupanya Mas Ahim mengamati diamku.
Mobil baru saja keluar dari gerbang perumahan tempat bapak ibuku tinggal, tapi aku sudah melow. Berubah pikiran juga aku tak tega, mengingat senangnya Mas Ahim waktu aku menyampaikan niat untuk pulang ke rumah kami. Lagipula aku ini bukan single lagi. Memang sudah seharusnya untuk tak berlarut-larut dalam sedih dan susah hati.
"Nggak sih. Cuma ingat pesan bapak ke kamu tadi, Mas. Kalau bapak sama ibu tahu cerita aslinya, mungkin mereka akan kecewa."
"Udah sih, Sar. Jangan bikin aku merasa bersalah terus. Aku kan udah minta maaf dan kamu juga udah maafin aku. Aku juga udah janji nggak akan mengulang kesalahan yang sama."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Dodol
General FictionSarah dan Ahim saling mengenal sejak kecil. Mereka dekat seperti kakak dan adik. Sering berantem mewarnai hari-hari keduanya saat bertemu. Setelah dewasa, orang tua keduanya menjodohkan mereka. Suka tidak suka, mau tidak mau, mereka harus hidup bers...