Happy reading :)
***
Sebulan berlalu sejak kejadian Mas Ahim ke-gep bertemu Mbak Danti. Kami bahkan sudah tidur sekamar lagi sejak pulang dari rumah Mbak Nisa, tapi aku masih banyak mendiamkannya. Sebenarnya aku tahu kalau Mas Ahim tidak sepenuhnya salah, tapi kalau aku memberinya maaf dengan mudah, tentu saja Mas Ahim nggak akan mengambil pelajaran apapun dari kejadian-kejadian yang menimpa kami, dan bisa saja dia mengulanginya lagi di lain hari.
Pembicaraan kami hanya untuk hal-hal yang penting saja, salah satunya urusan kepindahan.
Keputusan akhirnya yang kami ambil adalah kami akan meninggalkan kota kelahiran dan keluarga yang kami sayangi. Sebenarnya berat, tapi aku ingin Mas Ahim tahu kalau aku tidak main-main. Biar jadi pengingat setiap kali dia mau melakukan hal yang sama.
Egois? Mungkin saja. Tapi semua kulakukan demi keutuhan rumah tangga. Kekuatan perasaan setiap orang berbeda, pun aku. Kalau orang lain bisa santai soal mantan, tidak demikian denganku.
Mas Ahim menunjukkan keseriusannya dengan mengajukan resign sehari setelah kami mengambil keputusan. Setelahnya langsung sibuk mencari pekerjaan baru. Sengaja memilih di kota yang jauh seperti Bandung, Jakarta, Sumatera, bahkan di luar negara. Qodarullah kesempatan pertama datang dari negeri jiran atas jasa Mas Raka dan Mbak Hana.
Ya, kami akan menjalani hidup baru di negara tetangga, Malaysia.
Salah seorang sahabat Mbak Hana dan Mas Raka saat kuliah menikah dengan seorang arsitek berkebangsaan Malaysia. Sama seperti Mas Raka dan Mbak Hana, pasangan serumpun beda negara itu membuka sebuah kantor arsitek di Kuala Lumpur. Mbak Hana merekomendasikan Mas Ahim. Alhamdulillah, mereka memberi kesempatan pada Mas Ahim untuk bekerja di kantor mereka.
Mas Ahim bahkan sudah beberapa kali bolak balik ke Jakarta dan Kuala Lumpur untuk mengurus dokumen dan menyiapkan tempat tinggal buat kami.
"Sar," panggil Mas Ahim.
Dari tadi dia berbaring di sampingku, tapi cuma diam saja sambil memandangi aku yang sedang fokus pada buku. Padahal aku tidak sedang membaca, aku cuma sedang menata hatiku untuk mengembalikan hubungan kami yang dulu.
"Hemm?"
"Betah banget sih ngediemin aku? Kamu nggak bosan, to? Hitungan jam lagi kita mulai hidup berdua lho, jauh dari keluarga dan sanak saudara. Nanti di sana kita mulai ngobrol asyik lagi kayak dulu-dulu, ya? Apa masih kurang serius usahaku buat bikin kamu percaya sama aku, Sar?"
Dia mengubah posisinya dan duduk menghadap ke arahku.
Jujur, aku sendiri sangat merindukan kedekatan kami yang dulu. Rasanya sudah tak tahan lagi untuk tak mengacuhkan dia sekian waktu, tapi aku menunggu saat yang tepat tiba. Mungkin inilah waktunya.
"Aku..., m-maafin aku ya, Mas."
Kujatuhkan diriku ke pelukan Mas Ahim, mengeluarkan semua perasaan yang sudah kupendam sebulan lamanya.
Ah, aku baru sadar. Di saat-saat seperti ini, pelukan suami memang jadi hal terbaik yang kita miliki. Meski kadang rasa sakit, kesal, sebal, dan semuanya itu datangnya dari dia juga.
Mas Ahim balas memelukku erat. Sangat kuat. Sepertinya dia juga butuh dikuatkan setelah sebulan berkutat dengan banyak urusan yang serba tiba-tiba.
"Janji ya, kita nggak akan kayak kemarin lagi," katanya sesudah aku tenang. Aku mengangguk, masih dengan air mata berlinang.
"Besok-besok nggak cengeng lagi, ya. Dikurang-kurangin nangisnya." Dihapusnya air mataku dengan jari-jarinya.
"Nggak janji."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Dodol
General FictionSarah dan Ahim saling mengenal sejak kecil. Mereka dekat seperti kakak dan adik. Sering berantem mewarnai hari-hari keduanya saat bertemu. Setelah dewasa, orang tua keduanya menjodohkan mereka. Suka tidak suka, mau tidak mau, mereka harus hidup bers...