Happy reading :)
***
Aku terbangun dari tidur yang tak sengaja. Mukena bahkan masih melekat di badanku. Kutengok jam di gawaiku, 13.15. Empat puluh lima menit aku tidur, lumayan juga.
Usai menandaskan segelas air, tiba-tiba aku ingin makan roti bakar kesukaanku. Segera kuketik pesan untuk Mas Ahim, meminta izin akan membeli roti bakar lewat kurir. Beberapa detik berikutnya panggilan dari Mas Ahim datang.
"Assalamualaikum, Sar."
"Waalaikumussalam."
"Harus sekarang, ya?"
"Apanya?"
"Roti bakarnya lah. Nggak nanti aja aku beliin sekalian pulang?"
"Tapi aku pengennya sekarang, Mas. Pakai kurir aja boleh, ya?" rengekku.
"Ya udah, suruh nyangkutin di pagar. Kamu keluarnya kalau kurirnya udah nggak kelihatan."
"Iya."
Suamiku yang ganteng itu memang agak posesif. Dia tak memperbolehkan ada laki-laki masuk ke rumah saat dia tak ada, kecuali bapakku atau bapaknya. Bahkan kakak iparnya pun jika datang sendirian maka aku tak boleh membukakan pintu. Aku selalu mengingat dan mematuhi pesannya, sebab secara syariat juga semestinya begitu.
Roti bakar kuorder sesegera mungkin, hingga tak sampai setengah jam kemudian makanan kesukaanku itu telah berada di hadapan. Kubuka dengan tak sabar, sudah terbayang aroma coklat favorit yang bikin ngiler. Tapi....
"Huek."
Tiba-tiba aku merasa mual dan ingin muntah. Buru-buru berlari ke kamar mandi, tapi tak ada apapun yang keluar dari perutku. Aku kembali ke meja makan setelah lebih dulu mengambil air minum hangat.
Sama seperti sebelumnya, begitu mencium bau roti bakar, aku kembali merasa mual. Ini aneh. Aku jadi curiga. Apalagi sudah hampir dua pekan lewat dari jadwal dan si tamu bulanan belum datang juga.
"Jangan-jangan..., Astaghfirullah hal adzim," pekikku.
Setengah berlari aku menuju ke toilet di kamar kami. Mas Ahim menyimpan banyak test pack di rak. Dia beli sejak kami pulang dari umroh dan hubungan kami kembali hangat seperti sebelum aku keguguran dulu.
Kucoba satu, tak peduli jam berapa ini. Kupikir mencoba test pack tak harus saat pagi hari. Dengan dag dig dug kutunggu hasilnya sambil duduk di tepian tempat tidur.
"MasyaAllah. Garis dua. Alhamdulillah. Alhamdulillah. Aku hamil." Aku berteriak-teriak kegirangan. Mas Ahim pasti senang sekali.
Tak langsung menghubungi Mas Ahim, aku berniat memberinya surprise saat dia pulang nanti.
Aku kembali ke ruang makan, kututup hidungku saat memasukkan roti bakar ke dalam wadah. Buat Mas Ahim, sayang kalau nggak dimakan.
Drrrt drrrt. Gawaiku bergetar. Nama Mas Ahim terbaca di layar.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam. Gimana, Mas?"
"Sar, ini ada kecelakaan kerja. Aku diminta bantuan nganter ke rumah sakit. Mungkin nanti pulangnya agak sorean."
"Oh, iya. Nggak apa-apa. Tapi kamu baik-baik aja kan, Mas?"
"Alhamdulillah, aku nggak apa-apa, Sar. Cuma diminta nganter aja. Ada driver dan satu teman lain juga kok."
"Iya. Hati-hati ya, Mas."
"Thank you, Sar. I miss you."
Panggilan diakhiri, aku tersenyum-senyum sendiri, meski harus bersabar lebih lama lagi untuk menyampaikan kabar gembira kepada suami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Dodol
General FictionSarah dan Ahim saling mengenal sejak kecil. Mereka dekat seperti kakak dan adik. Sering berantem mewarnai hari-hari keduanya saat bertemu. Setelah dewasa, orang tua keduanya menjodohkan mereka. Suka tidak suka, mau tidak mau, mereka harus hidup bers...