Happy reading :)
***
Minggu pagi. Seperti minggu-minggu sebelumnya, Mas Ahim mengajakku jogging, setelahnya jalan-jalan menyusuri Car Free Day, ditutup dengan menikmati kuliner yang bertebaran di sana. Kadang batagor, lain waktu bubur ayam, paling sering lontong sayur.
Tapi rute kami kali ini beda. Usai jogging, Mas Ahim bergabung dengan teman-teman basketnya di lapangan tempat mereka biasa kumpul-kumpul. Memang sejak kami menikah hampir 3 bulan lalu, Mas Ahim nyaris tak pernah bergabung dengan teman-teman basketnya di hari Minggu. Dia lebih memilih untuk berkegiatan bersamaku. Jikapun itu olahraga, dipilihnya jogging, sepeda atau berenang, agar kami bisa melakukannya bersama.
Aku menunggu di sisi kanan lapangan. Duduk memangku handuk dan menggenggam air mineral, bersiap sewaktu-waktu Mas Ahim memerlukan. Tapi dia tak sedikit pun menepi, seolah energinya tak habis untuk aktivitas yang memang sangat dia cintai.
Sejak duduk di bangku SD, dia sudah sering mewakili sekolah untuk lomba-lomba yang berbau olahraga, khususnya atletik. SMP dan SMA selalu masuk tim inti basket dan voli. Dan saat di bangku kuliah dia tergabung di tim basket universitas. Itulah kenapa dia begitu menikmati aktivitasnya kali ini.
Aku ikut menikmati, bukan permainannya, tapi Mas Ahimnya. Beneran deh, kalau sedang bermain basket, dia kelihatan gimana gitu. Aura kegantengannya tumpah-tumpah, membuatku bersyukur sekali menyandang status sebagai istrinya.
"Makasih, Sar. Enak ternyata ya, capek gini ada yang nyodorin minum. Apalagi kalo sekalian ngelapin keringet, asyik tuh." Dia menepi. Berkomentar sembari mengulir tutup botol, kemudian menandaskan isinya dalam beberapa detik saja.
Mata kami beradu, ada terima kasih yang dia sampaikan lewat tatapan. Aku tertawa kecil. Dia gemas, menowel hidungku, dan ikut tertawa, lantas berdiri hendak kembali ke lapangan.
"Wah, bintang lapangan udah come back nih."
Seorang perempuan cantik mendekati Mas Ahim. Lekuk tubuhnya tergambar jelas dibalik balutan outfit yang sporty. Ini yang sering orang bilang body goals. Seksi. Seksi betulan, bukan seperti aku yang cuma seksi wira wiri.
Mas Ahim membalikkan badan mendengar suaranya. Tanpa basa-basi, perempuan itu mendaratkan ciuman di pipi Mas Ahim. Mas Ahim menghindar ketika pipi yang satunya lagi nyaris menjadi sasaran berikutnya. Tapi ciuman yang pertama tadi sudah berhasil mendarat. Ciuman yang sukses membuat Mas Ahim salah tingkah.
Aku membuang muka, menyelamatkan mataku dari pemandangan yang tak menyenangkan. Iya lah, mana ada perempuan yang senang melihat suaminya dicium perempuan lain. Huh!
Beberapa temannya meneriaki si perempuan. Memberitahu status Mas Ahim yang sudah menikah.
"Eh, kamu, Del." Mas Ahim menyapa. Canggung.
"Iya, aku, Him. Amnesia apa gimana? Kamu sih, lama banget nggak pernah gabung sama kita-kita di sini," kata perempuan itu sok akrab.
"Iya." Mas Ahim menjawab seperlunya. Matanya menatap ke arahku, berusaha meyakinkan bahwa perempuan itu bukan siapa-siapa.
"Itu adikmu ya?" Perempuan itu menunjuk ke arahku dengan nada suara yang terdengar mengejek. Padahal beberapa teman mereka sudah mengatakan status Mas Ahim lewat teriakan. Mungkin dianya saja yang nggak pernah bersihin kuping.
"Bukan. Dia istriku," jawab Mas Ahim tegas. Dirangkulnya tubuhku yang terlihat kecil di sampingnya.
"Oh iya ding, kamu udah nikah. Istrimu pasti posesif ya, Him. Sampai kamu nggak boleh gabung di sini."
"Hati-hati kalo ngomong, Del. Nggak usah nge-judge orang lain kalau kamu nggak kenal gimana dia." Mas Ahim dengan tegas membelaku.
"Dan kamu nggak pernah berubah ya, Him. Kalau udah sayang, pembelaanmu luar biasa. Gentleman."
Perempuan bernama Adel itu bicara lagi, nada suaranya seperti dibuat-buat. Menggoda. Aku risih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Dodol
General FictionSarah dan Ahim saling mengenal sejak kecil. Mereka dekat seperti kakak dan adik. Sering berantem mewarnai hari-hari keduanya saat bertemu. Setelah dewasa, orang tua keduanya menjodohkan mereka. Suka tidak suka, mau tidak mau, mereka harus hidup bers...