7. Cemburu

2K 313 33
                                    

Happy reading :)

***

Siang ini aku pergi sendiri ke supermarket. Biasanya belanja kebutuhan rumah selalu ditemani Mas Ahim, tapi tidak kali ini. Pagi tadi dia bilang kalau sedang banyak pekerjaan. Malah aku pula dibilang manja. Sekali-kali belanja sendiri masa nggak bisa, dasar anak manja. Begitu dia meledekku.

Sebenarnya aku nggak nyaman pergi sendiri, tapi beberapa keperluan dapur dan rumah sudah habis, mau tak mau harus segera dibeli. Jadi aku terpaksa keluar dengan ojek online.

Aku sedang berada di deretan rak tempat memajang keperluan dapur, ketika seorang mas-mas menghampiri dan menyapaku.

"Sarah, ya? Sarah Annisa?" tanyanya sembari menyebut nama lengkapku.

"Eh, iya betul. Maaf, siapa ya?" Aku balas bertanya. Kucoba mengingat sosok yang ada di hadapanku, tetap saja aku tak merasa mengenalnya.

"Aku Deni, kakak kelas waktu SMP dan SMA dulu." Dia menjelaskan.

Diulurkannya tangan kanan ke arahku, aku menyambutnya dengan menangkupkan kedua tangan di depan dada. Dia buru-buru mengubah tangannya menjadi sepertiku. Alhamdulillah, dia memahami prinsipku.

"Oh, iya kah? Maaf ya, saya benar-benar nggak ingat. Maklum, saya jaman sekolah dulu siswa jelata. Kuper. Jarang kenal dengan kakak kelas, apalagi yang laki-laki," jawabku sambil tertawa kecil, mencoba menyembunyikan kecanggungan.

"Iya nggak apa-apa. Kamu kan dulu kutu buku. Kalau nggak belajar di kelas, ya baca buku di perpus. Nggak pernah ke kantin juga, kan? Selalu bawa bekal dari rumah. Anti mainstream." Dia menyebut kebiasaan-kebiasaanku jaman sekolah dulu dengan rinci dan tepat. Aku jadi agak risih.

"Eh, kok Mas Deni tahu banyak tentang kebiasaan saya?"

"Iya. Kamu sih serius banget, nggak suka gaul. Sampai nggak sadar kan, ada yang ngefans sama kamu." Lagi-lagi dia tertawa, sedangkan aku masih tak tahu apa maksudnya.

"Ahim apa kabar?" sambungnya lagi.

Ah, rupanya dia temannya Mas Ahim. Aku sedikit lega.

"Alhamdulillah baik. Mas Ahim sehat. Mas Deni dulu temannya Mas Ahim, kah?" Kupanggil dia dengan namanya. Perasaan asing yang tadi ada sudah turun levelnya.

"Iya. Bolo banget dulu sama Ahim. Bareng di tim basket, voli, atletik, sampai bolos pun bareng. Nanya-nanya tentang kamu juga sama Ahim. Kan kalian udah kayak kakak adik," jelasnya lagi. Tak ketinggalan memamerkan barisan gigi yang putih dan rapi. Pantas saja dia hobi tertawa lebar.

"Tapi udah lama nggak ketemu Ahim, sih. Temen-temen yang lain juga banyak yang hilang kontak. Kebetulan aku lumayan lama kuliah di luar. Baru pulang setelah lulus master ini."

"Oh." Aku mengangguk-angguk.

"Minta nomornya Ahim, dong. Kamu pasti punya, kan?"

"Iya, ada."

Dia mengeluarkan ponsel yang kutahu harganya selangit, lalu dengan lincah menekan angka-angka sesuai yang kusebutkan.

"Boleh minta nomormu sekalian?" pintanya lagi.

"Eh, buat apa? Maaf ya, Mas, tapi nggak usah saja." Aku keberatan.

"Iya, nggak apa-apa. Aku maklum. Nanti aku minta sama Ahim deh." Tawa lebarnya tersaji lagi untuk kesekian kali.

"Aku temani belanjanya, yuk. Kayaknya kamu sendirian aja." Mas Deni Deni itu menawariku.

"Oh, nggak usah, Mas. Takut jadi fitnah. Maaf, ya. Mari, saya duluan."

Pengantin DodolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang