Happy reading :)
***
Aku berterima kasih sekali kepada ketiga kakak iparku yang sangat baik. Hadiah dari mereka sangat berarti bagiku. Dua bulan berlalu dari sejak bulan madu, hubunganku dengan Mas Ahim benar-benar mengalami progres yang cukup signifikan setelah kami bersafar bersama.
Sekarang aku tahu, Mas Ahim kalau sudah sayang, sikapnya sungguh sangat manis. Tak heran kalau mantannya banyak. Selain karena wajah dan body yang mendukung, Mas Ahim juga lucu, apa saja selalu bisa dia jadikan bahan candaan. Yang paling bikin aku happy, hubungan kami makin terasa sebagai suami istri.
Ting tong.
Suara bel membuyarkan lamunanku. Kulihat jam dinding, hampir pukul delapan. Cepat-cepat aku menuju ke pintu, itu pasti Mas Ahim. Hari ini dia ada pekerjaan di luar kota, jadi pulangnya agak terlambat dari biasanya.
"Assalamualaikum, Sarah Annisa sayang."
"Waalaikumussalam," jawabku sambil tersipu. Kuambil dan kucium punggung tangannya, dia balas melakukan hal yang sama, lalu meraihku ke dalam pelukan.
"Sekali-sekali kalau dipanggil sayang tuh balas panggil sayang, kek."
"Malu." Aku terkekeh. Dia mencubit hidungku.
"Aku bawain roti bakar kesukaanmu, nih. Kamu masak nggak?"
"Cuma bikin nasi goreng jambal." Biasanya kalau ada pekerjaan sampai malam begini Mas Ahim akan sekalian makan di luar, makanya aku nggak masak khusus untuk makan malam kami.
"Kamu belum makan to, Mas?"
"Udah, kok. Tapi aku lapar lagi, pengen makan bareng kamu. Aku mandi dulu ya, habis itu kita makan. Aku nasgornya, kamu roti bakar aja kalau tadi udah makan nasi." Aku mengangguk.
"Mau minum panas apa hangat?"
"Teh panas aja, Sar. Secangkir berdua ya."
"Kamu habis kesambet apa sih, Mas?" Tak dijawab. Dia malah menghampiri dan mengecup keningku lagi.
"Aku mandi dulu ya, Sar, nanti kuceritain sesuatu. Pokoknya i love you."
Aku tertawa. Kubalas sikap manis Mas Ahim dengan memberi usapan di pipi kirinya, lalu bergegas menghangatkan nasi goreng dan membuat dua telur mata sapi. Tak lupa segelas teh panas dengan level manis rendah kesukaannya.
"Sar, maafin aku ya."
Aku kaget. Mas Ahim tiba-tiba memelukku dari belakang. Untung teh panas sudah sempurna mendarat di meja makan.
"Mas, ih. Nggak usah ngagetin gini bisa kali."
"Iya, maaf. Kaget banget, ya?"
"Iya, lah. Lagian, mandinya cepet amat. Bersih nggak, tuh?"
"Makanya mandiin, biar bersih."
"Apaan sih, Mas? Nggak jelas." Aku malu sendiri. Dia suka sekali menggoda yang nyerempet-nyerempet bahaya.
"Kamu lucu deh, Sar. Gemesin. Ya udah kita makan, yuk. Aku lapar."
Aku mengiyakan. Dia menarik satu kursi untuknya, dan menarik satu lagi di sampingnya. Aku terpaksa duduk bersebelahan dengannya, padahal aku paling suka duduk berhadapan saat makan.
Mas Ahim makan sangat lahap, aku juga menikmati roti bakar dengan semangat. Sepanjang makan, tangan kirinya tak beranjak dari pahaku. Sesekali dia mengusapnya sambil memandangi aku. Aku jadi geli sekaligus malu.
"Kamu kenapa sih, Mas?"
Dia cuma tersenyum. Baru mulai bicara sesudah menyelesaikan makan dan menghabiskan teh panasnya. Sepertinya dia lupa soal secangkir berdua. Aku diam saja, dalam hati menertawakan kealpaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Dodol
General FictionSarah dan Ahim saling mengenal sejak kecil. Mereka dekat seperti kakak dan adik. Sering berantem mewarnai hari-hari keduanya saat bertemu. Setelah dewasa, orang tua keduanya menjodohkan mereka. Suka tidak suka, mau tidak mau, mereka harus hidup bers...