HAPPY READING
Narasi nya gak jelas, otaknya berantakan, tapi pengen nulis. Maaf ya, kalau jelek.
---------------
Sore di hari rabu ini lumayan redup oleh mendung, meski tak begitu gelap, tak ada yang tau hujan akan turun atau tidak. Siang tadi, keluarga zayaksa mendapatkan undangan kerja bakti dari Pak RT setempat. Kegiatan peringatan hari jadi komplek mereka sudah lumayan dekat, tinggal hitungan jari, itulah mengapa kegiatan kerja bakti akan dilaksanakan lusa depan.
Keluarga zayaksa kompak semangat untuk turut serta dalam kegiatan tersebut tentu saja, terutama askara. Si sulung yang selalu menantikan peringatan ini karena selalu menantikan bintang panggung yang kerap di undang sebagai hiburan. Askara pelopor nomor satu. Mengajak para pemuda komplek untuk bergerilya di depan panggung untuk berjoget bersama. Memang askara ini.
Karena kegiatan kerja bakti inilah anggota keluarga zayaksa mempersiapkan peralatan yang sekiranya perlu dibawa. Saat melihat garasi gudang yang kebanyakan barang-barang kebersihan sudah hilang, membuat ayah mengutus artha dan askara untuk pergi ke salah satu tokoh bangunan langganan mereka. Awalnya si bungsu ingin ikut, tapi mengingat kewajibannya di mushollah bersama mentari, hugo menelan keinginan nya. Yang penting ketemu ayang dulu katanya. Kalau tarandra, masih sibuk di kampus dan belum pulang, masih satu jam lagi katanya.
Kebetulan, askara yang waktu itu gabut dan lagi motong kuku, iya-iya aja waktu di utus oleh paduka kris bersama adiknya si anak rajin dan pintar.
"Abang."
"Hah?", Askara mengeraskan suaranya disela bisingnya jalanan kota.
Artha memajukan kepalanya, "Tadi abang liat nggak?"
"Hah? Naon kak?"
Askara memang suka telat denger alias budek dadakan kalau diatas motor. Suaranya yang ha ho ha ho aja kadang ngagetin pengendara lainnya. Kini sepertinya artha tau kenapa senja jarang sekali mau diajak keluar bareng abangnya.
Artha yang gampang capek kalau ngegas, akhirnya diem. Dia ngegelengin kepalanya, askara ngeliat di spion. "Naon sih kak?"
"Nanti aja."
Askara mengernyit heran. Tak urung ia diam saja, dahinya mengkerut memberi arti bahwa lelaki gondrong itu tengah serius mengendarai motornya melewati ramainya aspal. Sesekali medumel kenapa sore ini terlihat begitu padat, emosi juga si askara melihat bapak-bapak atau ibu-ibu yang tiba-tiba belok tanpa lampu sen. Askara jadi geram.
Tak lama, mereka tiba di toko bangunan langganan mereka. Jangan salah, di toko ini juga menjual aneka ragam alat kebersihan kok. "Tadi, mau ngomong apa kak?", Askara melepas helm nya.
Artha menggeleng, "Di bunderan taman tadi ada anak nyungsep dari sepeda. Kasian, aku kira abang tau.", meski pendiam, kadang artha juga memiliki otak yang spontan dalam menyampaikan hal sekecil apapun indra nya merasa. Seperti ini.
Askara melongo, "hah? Terus...", Askara menggaruk kepalanya, "..abang harus apa?"
Artha menggeleng, "nggak ada, selesai." pandangan nya mengedar ke penjuru toko, artha menunjuk ujung dekat pintu, "itu, sapu ijuknya."
"Eh? Oh.. Iya. Ayok!"
Bukan sekali dua kali memang askara pergi bersama dengan adiknya yang ini, tapi, setiap waktu ada kalanya ia merasa lemot oleh ucapan adiknya yang spontan dan singkat ini. Daripada banyak bicara seperti dirinya, artha itu lebih banyak bertindak. Tapi artha bersyukur jika pergi bersama abangnya, askara itu, selalu pandai berinteraksi dengan banyak orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐏𝐚𝐬𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐀𝐛𝐚𝐡
Ficțiune adolescențiTentang lika liku kehidupan ayah duda dan ke-empat kurcaci laki-lakinya.