Ketika semesta mempertemukan dua raga dengan sengaja
***Suasana ruangan cukup ramai karena kegiatan praktek telah berakhir. Lelaki berdagu runcing yang baru selesai mencatat hasil percobaan mengembuskan napas lega. Ia kemudian menyerahkan lembar tugasnya pada asisten lab yang sejak tadi sudah berteriak, meminta para mahasiswa untuk segera mengumpulkan tugas mereka.
Lelaki itu menyatukan alat tulisnya lalu membantu teman sekelasnya untuk menyimpan gelas ukur dan pipet ke tempat semula. Berjalan ke arah wastafel, ia mencuci tangan dan membuka jas lab, memasukan ke lemari kaca seperti yang dilakukan teman-temannya.
"Put, tugas buat makalah udah beres, entar gue kirim file-nya biar langsung bisa dibikin PPT." Sebuah suara terdengar saat dirinya mengambil tas yang biasa disimpan di lemari depan ruang laboratorium. Kebetulan para mahasiswa tidak diperbolehkan membawa tas ke dalam ruangan.
Pringgabaya Putra menoleh pada si rambut gondrong yang sedang memasukan alat tulis ke tasnya. Bau tembakau tercium saat lelaki itu berbicara. Putra jelas tahu kalau temannya itu sempat nongkrong di warung depan kampus sembari menikmati beberapa batang rokok.
Putra pernah diajak, tapi selalu menolak karena dirinya tidak memiliki waktu untuk sekadar bersantai ria. Baginya setiap detik yang terlewati sangat berharga sehingga ia tak mau menyia-nyiakannya.
Putra tidak seperti mahasiswa kebanyakan yang datang ke kampus membawa mobil mewah atau motor sport ditambah pakaian bermerk. Dirinya hanyalah anak rantau yang nekat datang ke kota berbekal beasiswa.
Ibunya yang hanya seorang penjahit kecil sempat tidak mengizinkan berkuliah karena takut tak bisa membantu membiayai. Meski sering mendapat uang saku setiap bulan dari beasiswanya, tentu saja uang tersebut tidak cukup. Ada banyak kebutuhan yang harus dipenuhi. Selain makan, ada tugas yang harus dikerjakan, kuota dan buku paket yang harus dibeli serta berbagai media pembelajaran yang harus dibuat.
Maya, sang ibu hanyalah seorang single parent yang memiliki tiga anak. Putra merupakan anak pertama dengan dua adik yang masih duduk di bangku kelas satu SMA dan kelas lima SD. Ayahnya sudah meninggal enam tahun lalu karena menderita penyakit paru-paru. Makanya Putra memutar otak agar tidak menyusahkan sang ibu. Ia kerap bekerja paruh waktu. Bengkel dan minimarket pernah menjadi tempatnya bekerja. Namun, dirinya kini memutuskan menerima ajakan salah satu kakak tingkatnya yang membuka usaha lewat online. Putra memanfaatkan hobi melukisnya untuk menghasilkan uang.
"Gue duluan, ya! Masih ada kelas pendalaman Seni!" Jendra menepuk bahunya kemudian berlari kecil menuju ruangan di mana kelas selanjutnya diadakan.
Di semester enam, mahasiswa jurusan PGSD dibebaskan memilih tiga mata kuliah yang diminati. Putra yang hidupnya tidak memiliki kata santai memilih pendalaman yang tak terlalu membebaninya.
Pertama, ia memilih Pendalaman Materi Bahasa Indonesia SD. Selain karena hampir semua teman satu jurusannya mengikuti, baginya mata kuliah tersebut penting untuk bekalnya sebagai calon guru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cutie Fay (Pre Order)
Teen FictionBagi Pringgabaya Putra, jatuh cinta adalah hal paling rumit dan membutuhkan banyak waktu. Namun, anggapannya salah ketika ia dipertemukan dengan sosok Fay, seorang kakak tingkat yang datang tanpa diundang membawa serta sepucuk surat cinta untuknya. ...