Bagaimana jika keadaan memaksa seseorang untuk berhenti berjuang?
***Putra: Kak Fay?
Putra: Kenapa chat-nya nggak pernah dibales?
Putra: Gue ganggu, ya?Gadis itu menahan napas, berusaha keras untuk tidak tergoda membalas pesan tersebut. Sudah dua hari ini, Putra mengiriminya chat dengan alasan hendak mengembalikan payung yang dipinjamnya.
Rasanya sangat berat untuk mengabaikan, tapi inilah keputusan yang ia ambil. Berhenti mengagumi Putra dan menjaga jarak agar dirinya bisa segera move on karena itu memang suatu keharusan.
Putra menghubungi bukan untuk membalas perasaannya, tapi Fay selalu berangan bahwa lelaki itu mungkin mulai tertarik padanya.
"Fay! Udah siap belum?"
Suara Zemima disusul dengan ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Fay sampai lupa kalau dirinya tengah bersiap-siap. Kebetulan malam ini adalah malam puncak Dies Natalis. Sebenarnya ia sempat menolak pergi karena malas, tapi Zemima dan teman satu kosannya memaksa agar ikut.
Gadis itu melangkah untuk membuka pintu yang terkunci. Didapatinya Zemima sudah siap dengan celana jeans dan jaket parkanya.
"Belum siap?" tanya Zemima melihat rambutnya yang masih berantakan.
Fay mengangguk. "Duluan aja! Entar gue nyusul," ucapnya berjalan ke arah cermin dan menyisir rambut hitam legamnya.
Zemima sempat mendelik sebelum berjalan ke luar kamar. Fay pikir, gadis itu sudah pergi, ternyata Zemima hanya menyuruh teman-temannya untuk berangkat terlebih dahulu.
"Gue nggak yakin lo bakal nyusul, sih." Zemima berjalan ke arah tempat tidur dan mendudukan diri di sana. "Nggak ada sejarahnya lo dateng ke acara kampus sendirian."
Fay melemparkan senyum miring sebelum kemudian membuka lemari, memilih salah satu kardigan yang terlipat rapi di sana. Gadis itu mengenakan celana jeans hitam. Atasannya hanya kaos rumahan bergaris dibalut kardigan berwarna pastel.
"Cantik banget anak bungsunya bapak kades." Zemima berdecak kagum melihat kecantikan sahabatnya. "Gue jadi insecure jalan sama lo, nih!"
Memutar bola mata, Fay memukul pelan lengan Zemima. "Nggak usah berlebihan!"
Zemima tertawa lalu bangkit, mengikuti Fay yang berjalan ke luar kamar. Setelah memastikan pintu terkunci, keduanya melangkah menuju kampus sembari membicarakan banyak hal.
Keadaan kampus sangat ramai malam ini. Beberapa mahasiswa duduk bergerombol di depan aula sembari menunggu acara dimulai. Begitu pun para panitia yang tampak berkeliaran mengenakan jas almamater serta name tag yang tergantung di leher.
"Zem, masuk, yuk! Dingin," ajak Fay, padahal bukan itu yang sebenarnya ia rasakan. Bukannya kegeeran. Fay hanya merasa tengah diperhatikan oleh sekumpulan mahasiswa yang berdiri tidak jauh darinya. Mereka juga tampak berbisik-bisik dan itu membuatnya merasa tidak nyaman. Wajah mereka tampak tidak asing, tapi Fay tidak mengenalinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cutie Fay (Pre Order)
Fiksi RemajaBagi Pringgabaya Putra, jatuh cinta adalah hal paling rumit dan membutuhkan banyak waktu. Namun, anggapannya salah ketika ia dipertemukan dengan sosok Fay, seorang kakak tingkat yang datang tanpa diundang membawa serta sepucuk surat cinta untuknya. ...