17. "Talak."

191 20 5
                                    

“Apa maksudmu dengan kata selesai, Haura?” kata Wildan sembari kebingungan. Matanya melirik kemana-mana berharap bahwa ini hanyalah sebuah mimpi.

Haura memejamkan matanya sambil menangis sejadinya, tubuhnya bergetar. Ia tak sanggup mengatakan hal ini pada Wildan. Namun, ini adalah yang terbaik untuk Wildan.

“Berpisah. Sebaiknya kita berpisah,” akhirnya kata itu bisa keluar dari mulut Haura setelah sekian lama ia susah mengungkapnya.

Bukan karena Wildan adalah lelaki yang buruk. Namun, karena Wildan terlalu baik. Ia tak berhak untuk mendapatkan Wildan setelah apa yang terjadi. Ia berhak membuat Wildan bahagia. Ia tak ingin menyakiti hati Wildan lagi dari perasaannya.

“Kau sudah melakukan yang terbaik hingga detik ini. Saya sudah berubah menjadi lebih baik, berkatmu. Saya tidak melepaskan hijab dan bisa sholat 5 waktu hanya bersamamu. Tapi, Wildan..” ucapan Haura tersendat. Ia membuka matanya sembari menatap Wildan yang tengah menampilkan mimik wajah yang sangat kacau dan lesu.

“Sejak kejadian itu saya tidak mendapatkan kasih sayang dari siapapun. Bahkan dari keluarga saya sendiri, saya ditinggal sendirian di dunia ini. Itu sudah membuat saya merasa sangat menyedihkan. Saya merasa bahwa saya hanya akan sendirian selama ini. Saya tidak berpikir bahwa bisa memiliki mu saat ini. Disaat saya tidak mendapatkan apapun dari orang lain dan keluarga saya. Saya mendapatkannya langsung darimu. Kau yang mampu membuat saya mengerti apa itu ‘cinta’, kau yang membuat saya paham dengan apa arti agama dan kehidupan. Kau sudah memberikan segalanya untuk saya, jangan berkata kau gagal. Kau sudah lebih dari cukup melakukan segala hal dengan baik, Wil. Saya yang seharusnya meminta maaf dan berterima kasih. Maaf karena kamu bisa mendapatkan beban seperti saya. Dan terima kasih sudah membela saya hingga detik ini,” ujar Haura sambil meneteskan beberapa air mata. Namun, Ia enggan untuk menghapusnya. Haura hanya menatap Wildan agar ia tahu bagaimana tulusnya tatapan Wildan saat itu.

“Kau pemaham agama yang baik, kau dulu adalah seorang pria yang selalu sibuk untuk ceramah. Kenapa kau berhenti melakukan itu hanya untukku, Wil? Kau harus kembali menjadi dirimu yang dulu. Menjadi jauh lebih baik dari sekarang. Kau harus bisa mengendalikan diri lebih baik. Huh?” Haura memberikan penawaran baik untuk Wildan. Namun hingga saat ini Wildan tak menjawab apa yang di katakan oleh Haura. Bagaikan tamparan dan pergantian musim dalam diri Wildan, ia merasa tak bisa berkutik dan melakukan apapun.

Ini menyakitkan, batin Wildan sembari menunduk. Ia melamun lama.

“Wildan?” panggilan dari Haura berhasil membuat Wildan terlepas dari lamunan panjangnya.

“Kenapa kita harus berpisah?” tanya Wildan tiba-tiba yang tak paham dengan kondisi saat ini.

Bukankah bagus memiliki seorang pria yang baik? Apa yang salah? Kenapa Haura merasa terbebani dengan itu semua?

“Wildan, saya sudah melakukan banyak hal buruk. Kau tidak perlu menanggungnya. Jika kau melakukan itu, saya yang semakin merasa menjadi beban untukmu. Saya yang menyesal atas hal yang kau lakukan.” Haura menghela nafasnya sedikit panjang.

“Bersamamu hanya akan membuatku mengingat apa yang terjadi, dan mengingat rasa luka yang ku alami selama beberapa tahun ini. Wil, jika kau adalah lelaki yang ingin membuatku bahagia. Biarkan saya pergi dan berdiam diri, huh?” sambung Haura sembari menatap Wildan tajam.

“Tapi, saya mencintaimu. Saya melakukan apapun atas dasar bahwa saya mencintaimu. Saya berhak menanggung semua beban milikmu karena kau adalah Istri saya. Kenapa kau selalu memikirkan perasaanmu sendiri? Bagaimana dengan perasaan saya, Ra? Kau tidak memikirkan hal itu sama sekali?” Wildan tampak semakin lesu. Wajahnya sedikit pucat pasi. Sejak mencari Haura berapa jam, Wildan tak makan dan sempat kehujanan. Ia terlihat tak enak badan saat ini.

MAS WILDAN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang